jfid – Asbes adalah bahan bangunan yang terbuat dari serat mineral yang tahan terhadap panas, api, listrik, dan bahan kimia. Karena sifatnya yang kuat dan murah, asbes banyak digunakan dalam industri konstruksi, isolasi, pembangkit listrik, dan lain-lain.
Namun, dibalik keuntungan ekonomisnya, asbes menyimpan bahaya besar bagi kesehatan manusia.
Asbes terdiri dari serat-serat mikroskopis yang sangat tipis dan tajam. Serat-serat ini dapat lepas dari lembaran asbes dan beterbangan di udara. Jika terhirup oleh manusia, serat-serat ini dapat menempel di paru-paru dan menyebabkan peradangan, fibrosis, dan kanker.
Penyakit-penyakit akibat asbes ini biasanya baru muncul setelah puluhan tahun setelah paparan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 125 juta orang di seluruh dunia terpapar asbes di tempat kerja.
Setiap tahunnya, sekitar 90.000 orang meninggal dunia akibat penyakit asbestosis, kanker paru-paru, dan mesotelioma yang disebabkan oleh asbe.
WHO juga menyatakan bahwa semua jenis asbes bersifat karsinogenik (pemicu kanker) bagi manusia.
Berdasarkan data International Ban Asbestos Secretariat (IBAS), hingga saat ini sudah ada 69 negara yang melarang penggunaan asbes secara total atau sebagian.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang, dan lain-lain sudah menghentikan impor dan produksi asbes sejak tahun 1990-an atau 2000-an.
Mereka juga melakukan upaya untuk mengganti atau membersihkan asbes yang masih ada di bangunan-bangunan lama.
Namun, Indonesia masih belum termasuk dalam daftar negara yang melarang asbes. Menurut data International Trade Centre (ITC), Indonesia masih mengimpor sekitar 141 ribu ton asbes pada tahun 2019.
Asbes masih digunakan sebagai bahan baku untuk membuat atap bergelombang, papan semen, bahan isolasi, rem mobil, dan lain-lain.
Alasan utama Indonesia masih memakai asbes adalah karena faktor ekonomi. Asbes dianggap sebagai bahan bangunan yang murah dan mudah didapat. Selain itu, industri asbes juga menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.
Menurut Asosiasi Produsen Atap Asbes Indonesia (APAI), industri asbes menyerap sekitar 15 ribu pekerja langsung dan 60 ribu pekerja tidak langsung.
Namun, alasan ekonomi ini tidak sebanding dengan dampak buruk yang ditimbulkan oleh asbes bagi kesehatan masyarakat.
Banyak pekerja dan penghuni rumah yang tidak menyadari bahaya asbes yang mengancam nyawa mereka.
Mereka juga tidak memiliki perlindungan atau pengetahuan yang cukup untuk menghindari atau mengurangi paparan asbes.
Beberapa organisasi masyarakat sipil dan aktivis lingkungan sudah lama menyerukan agar pemerintah Indonesia melarang penggunaan asbes.
Mereka menggandeng para ahli kesehatan, peneliti, pengacara, dan korban asbes untuk melakukan advokasi dan edukasi kepada masyarakat.
Mereka juga mendesak agar pemerintah membuat regulasi yang jelas dan tegas untuk melindungi pekerja dan masyarakat dari bahaya asbes.
Salah satu organisasi yang aktif dalam kampanye anti asbes adalah Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN). Organisasi ini didirikan pada tahun 2007 oleh beberapa LSM seperti Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan lain-lain.
INA-BAN melakukan berbagai kegiatan seperti riset, sosialisasi, advokasi, dan bantuan hukum terkait isu asbes.
Menurut INA-BAN, Indonesia harus segera mengikuti jejak negara-negara lain yang sudah melarang asbes. Hal ini penting untuk mencegah peningkatan jumlah korban asbes di masa depan.
INA-BAN juga menyarankan agar Indonesia beralih ke bahan bangunan alternatif yang lebih aman dan ramah lingkungan, seperti genteng metal, papan gipsum, atau bahan daur ulang.
Asbes adalah bahan bangunan murah yang membunuh. Indonesia harus segera menyadari bahaya asbes dan mengambil langkah-langkah untuk melarang penggunaan asbes. Jika tidak, Indonesia akan menjadi negara dengan jumlah korban asbes tertinggi di dunia.