Menjaga Kelestarian Lingkungan Alam dalam Perspektif Peraturan KKP

Rusdianto Samawa
15 Min Read

“Tulisan ini memberi jawaban kepada kelompok doktrin lingkungan yang sebelumnya meragukan kebijakan Edhy Prabowo dalam perubahan peraturan menteri dan mencabut peraturan sebelumnya. Kelompok lingkungan ini menyebut: Nelayan Lobster lakukan ilegal fishing dan over fishing sehingga disebut merusak lingkungan. Tuduhan itu kejam sekali. Kelompok doktrin lingkungan argumentasinya minus bobot dan power otaknya perlu disubsidi.”


Pada tulisan saya sebelumnya berjudul: Pertarungan Isu Lingkungan Versus Keberlanjutan Ekonomi dalam Skema Benih Lobster, bahwa rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam skema kebijakan: penangkapan, perdagangan, pengeluaran (ekspor), pembesaran dan restocking benih lobster masih mendapat perhatian serius dari masyarakat. Terutama pada isu perdagangan benih lobster yang sangat ramai dibicarakan masyarakat.

Ya, hal itu dijelaskan dalam beberapa pasal rancangan peraturan menteri yang baru tentang pengelolaan lobster. Dengan berbasis pada data telur lobster di Indonesia mencapai 26,9 miliar ekor per tahun, sedangkan larva lobster 24,7 miliar ekor per tahun. Adapun jika berlanjut menjadi benih lobster, diperkirakan sebanyak 12,3 miliar per tahun.

Nah, jumlah tersebut dipakai sistem kuota dalam penangkapannya. Tentu pola sistem mekanisme kuota ini merupakan bentuk pembatasan laju penangkapan oleh nelayan. Artinya, tidak seperti peraturan terdahulu yang melarang sama sekali sehingga berdampak pada penangkapan dan pemenjarakan nelayan. Lagi pula sistem kuota ini, bentuk upaya menjaga lingkungan laut dan sumberdaya lobster agar tetap terpelihara stok sumberdaya sehingga keberlanjutan ekonomi berlangsung secara terus menerus.

Kalaupun benih lobster diekspor dengan skema 200 perusahaan eksportir dengan kuota pertahun mereka ekspor sejumlah 100juta benih. Maka cuma ekspor pertahun 2 miliar benih lobster. Sementara sisanya masih 10,3 miliar pertahun. Jadi tidak akan punah. Bukan pula monopoli, artinya korporasi juga harus siap lakukan penangkaran.

Jadi isu lingkungan yang justifikasi nelayan lobster sebagai pelaku over fishing, mulai dari sekarang berhenti. Jangan lagi ada pembuliyan. Argumentasi bodoh kalau pertentangan dari isu lingkungan. Karena argumentasi kelompok pembawa isu lingkungan dan sentimen nasionalisme ini sangat usang dan tak mampu melakukan riset. Hanya main dimedia sosial dan mencari duit dari para organisasi lingkungan internasional supaya kampanye lingkungan tetap berjalan.

Yang paling ngehits, ketika Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) yang memiliki follower twitterlandnya banyak, maka secara otomatis membentuk ruang komunikasi publik yang dinamis dalam merespon rencana kebijakan.

Apalagi secara propaganda dan agitasi memiliki argumentasi yang cukup kuat walaupun kurang rasional. Menghubungkan secara paksa antara doktrin nasionalisme – Lingkungan dengan membuang aspek Keberlanjutan Ekonomi. Sebenarnya keduanya tak bisa dipertentangkan. Karena berbicara Keberlanjutan ekonomi sudah pasti memperhatikan aspek lingkungaan.

Kampanye lingkungan sih iya tak masalah. Bagus. Tetapi jangan pertentangkan antara keberlanjutan ekonomi untuk kesejahteraan dengan prinsipal lingkungan masyarakat sebagai tempat pencarian nafkahnya. Kalau peraturan melarang hanya karena khawatir lingkungan rusak, kemudian mengabaikan kesejahteraan masyarakat. Maka sama saja pemerintah membuat peratutan tidak sesuai pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. Maka peraturan menteri yang dirancang baru-baru ini sangat objektif dan rasional. Perlu di dukung.

Selain itu, peraturan menteri baru itu juga mengatur pola penangkapan dan waktu pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) untuk diekspor yang hanya diberikan kepada eksportir yang telah memenuhi kewajiban untuk melaksanakan kegiatan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) di dalam negeri dengan sumber Benih Bening Lobster (Puerulus) berasal dari area perairan di WPPNRI dengan kelimpahan stok dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sesuai dengan hasil kajian dan rekomendasi Komnaskajiskan. Artinya dari aspek lingkungan terpenuhi dan tekontrol. Tidak seperti peraturan sebelumnya yang melarang sama sekali, tidak ada ruang pengaturannya.

Nah, upaya menjaga lingkungan harus dibarengi dengan pertimbangan kelangsungan hidup orang-orang yang mengandalkan mata pencaharian utama dari sektor tersebut. Ada masyarakat kita yang hidupnya tergantung penangkapan benih lobster. Sehingga peraturan menteri yang digagas sebagai perubahan itu dibuat semudah mungkin. Tetapi menguntungkan lingkungan sekitar, masyarakat, dan negara itu sendiri.

Dalam sala satu rancangan Permen pada Pasal 2 dan ayat 3 saja bahwa “setiap orang yang melaksanakan ekspor Benih Bening Lobster (Puerulus) yang telah melaksanakan kegiatan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) di dalam negeri wajib untuk menyisihkan 1 (satu) persen dari sumber Lobster (Panulirus spp.) yang dibesarkan dengan ukuran minimal 5 (lima) gram untuk pemulihan stok di area perairan tempat penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus).”

Kewajiban kegiatan pembudidaya lobster harus kembalikan ke alam sekitar 1 persen. Kalau dihitung begini: 1000 lobster ukuran 5 gram, kewajiban pembudidaya keluarkan 10 lobster ukuran 5 gram dilepasliarkan ke alam (laut) kembali. Ini dinamakan sistem restocking.

Menurut hasil riset Carribean Sustainable Fisheries dan Australian Center for International Agriculture Research: “untuk mengoptimalkan pemanfaatannya diperlukan upaya-upaya pendukung. Salah satunya adalah melalui kegiatan pembesaran (budidaya) atau penangkaran. Selain itu, strategi restocking dan ekspor benih secara kuota. Yang paling penting dipahami bahwa benih lobster kalau tidak dibesarkan dan tidak dimanfaatkan, lalu dibiarkan hidup secara alamiah, maka dalam berbagai riset manapun di dunia ini bahwa: “benih lobster yang hidup itu hanya 1%, bahkan di beberapa penelitian tidak sampai 1%.”

Mengenai Survival Rate (SR) atau daya tahan hidup bisa 70 persen. Artinya prediksi hidup dilaut itu sekitar 7 ekor lobster dan 3 ekor mengalami mati. Kenapa mati? sudah pasti ada faktor siklus antara perbedaan ketersediaan stok pemberian pakan makanan yang tetap (konsisten) dengan lepasliar dilaut yang mencari sendiri makanannya.

Kewajiban dan tanggungjawab restocking tersebut, merupakan konsep kelangsungan menjaga lingkungan alam dan sumberdaya laut yang baik. Sehingga mulai sekarang ini, perdebatan lingkungan versus keberlanjutan ekonomi jangan dilanjutkan lagi. Jangan paksa otak padahal argumentasi minus bobot.

Tulisan ini memberi jawaban kepada kelompok doktrin lingkungan yang sebelumnya meragukan kebijakan Edhy Prabowo dalam perubahan peraturan menteri dan mencabut peraturan sebelumnya. Kelompok lingkungan ini menyebut: Nelayan Lobster lakukan ilegal fishing dan over fishing sehingga disebut merusak lingkungan. Tuduhan itu kejam sekali. Kelompok doktrin lingkungan argumentasinya minus bobot dan power otaknya perlu disubsidi. Jangan paksa lagi otak, karena ngaku sendiri kalau tak berilmu. Perlu disubsidi ilmunya.

Kalau bertanya pada kelompok lingkungan tentang hubungan alat tangkap benih lobster yang dinamakan pocong itu merusak lingkungan atau tidak?. Kebanyakan dari mereka tak bisa menjawab. Karena rata-rata kelompok atas nama lingkungan ini ributnya dimedia sosial tanpa lakukan riset, kajian, dan analisis. Lagi pula, dari sisi mana benih lobster merusak lingkungan? walaupun dalam penangkapannya semua harus memperhatikan keberlangsungan ekosistem lingkungan laut.

Setelah diamati, kelompok atas nama lingkungan ini lebih menggunakan sentimen nasionalisme. Mereka suka membaca media tanpa kajian, suka berseloroh dimedia sosial tanpa lakukan studi riset dan paling penting diketahui bahwa: “mainstream pembawa isu lingkungan cenderung membawa bisnis pribadi dalam lakukan propaganda dan agitasi.”

Kemudian, kalau bertanya pada kelompok Keberlanjutan Ekonomi, kita mendapat jawaban lebih meyakinkan, rasional dan objektif. Walaupun sangat mainstream argumentasinya. Tetapi, tidak mudah menyadarkan para masyarakat untuk memahaminya.

Karena sebelum mengambil kebijakan, kata kuncinya: “Keberlanjutan ekonomi.” Tentu untuk memberikan jugment pada publik sudah jelas melalui pembahasan aturan perdagangan benih lobster yang melihat sisi keberlanjutannya. Sehingga dalam rancangan peraturan menteri baru, bahwa: “setiap orang penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) harus terdaftar dalam kelompok nelayan penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus).

Artinya kelompok atau organisasi penangkap ini ditentukan rekomendasi oleh Komnaskajiskan secara nasional dan Dirjen Budidaya dengan syarat-syarat sesuai aturan hukum yang berlaku. Tentu, output dari penentuan organisasi penangkap, eksportir dan pembudidaya ini bertujuan untuk menjaga keberlangsungan ekonomi sekaligus memperbaiki lingkungan apabila terjadi kerusakan. Maka yang paling bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan dan over fishing adalah organisasi terdaftar.

Rancangan peraturan menteri yang baru sudah menganut fair dan objektif dari sisi menjaga lingkungan. Sehingga perlu didorong perubahan peraturan ini agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang membidik pertumbuhan nilai ekspor sebesar 6 persen dalam rencana strategis RPJMN 2020-2024 dapat tercapai.

Angka 6 persen ini lebih rendah dari target yang dipasang untuk renstra pada periode 2015-2019 yang hanya sebesar 10-12 persen. Target yang dipasang pada 2015-2019 itu terlalu ambisius dan berat untuk direalisasikan. Maka, target 6 persen itu lebih realistis, kendati masih tetap dengan optimisme bahwa pertumbuhan ekspor perikanan bisa lebih tinggi dari kecenderungan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor dunia yang berkisar diangka 3–4 persen.

Tentu berharap volume ekspor benih lobster ke depannya diharapkan dapat menambah performa peningkatan devisa negara dan memberi kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Apalagi, setiap orang yang melaksanakan ekspor Benih Bening Lobster (Puerulus) dikenakan kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per satuan ekor Benih Bening Lobster (Puerulus) dengan nilai yang ditetapkan oleh Kementerian yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang keuangan negara.

Apalagi, penentuan pengeluaran benih bening lobster untuk kepentingan ekspor wajib menunjukkan Surat Keterangan Asal (SKA) yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang kelautan dan perikanan pada pemerintah daerah setempat. Tentu sebelum eksportir (perusahaan swasta asing dan domestik) lakukan ekspor benih bening lobster, mereka harus terlebih dahulu membayar diawal Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per satuan ekor Benih Bening Lobster (Puerulus) dengan nilai yang ditetapkan oleh Kementerian keuangan negara.

Kemudian, jumlah pengekspor juga ditentukan jumlah. Sehingga setiap orang yang melaksanakan ekspor, menangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) dan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) ditetapkan oleh Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan budidaya.

Hitungan ekonominya bisa capai triliun rupiah, bisa pakai melunasi utang negara, pembangunan kesejahteraan dan penambahan target APBN. Misalnya: 1 ekor benih nilai PNBP-nya: 100rupiah perekor x 100 juta kuota benih per 1 korporasi (perusahaan ekspor). Berarti jumlahnya: 10 miliar pertahun per 1 perusahaan (korporasi). Kalau 10miliar x 200 perusahaan berarti: 2 triliun.

Meskipun demikian, prinsip yang paling penting dalam pemanfaatan benih lobster ini adalah menyeimbangkan agar nelayan pengambil benih lobster dan nelayan penangkap lobster dewasa dapat hidup berdampingan, tidak kehilangan mata pencahariannya.

Dilansir sindonews (5 Februari 2020) dalam keterangan Wakil Ketua Bidang Riset dan Pengembangan KP2 KKP Bayu Priambodo menerangkan, potensi hidup benih lobster di alam memang sangat kecil, yakni 1:10.000. Artinya, dari 10.000 benih yang punya potensi hidup hingga besar adalah satu ekor saja. Begitu induk-induk lobster menetaskan telur di laut, dia dititipkan pada mekanisme alam, mekanisme arus dan mekanisme alam regional. Sehingga bila benih-benih tersebut tidak dimanfaatkan menjadi nilai ekonomis, akan mati sia-sia. Cara memanfaatkan paling efektif adalah dengan budidaya (pembesaran) lobster. Pelarangan sebaiknya hanya untuk lobster bertelur. Prinsip utamanya jangan ganggu indukan yang ada telurnya. Kalau ambil induk, itu mempercepat kepunahan.

Guna mempertahankan kelangsungan lobster di alam, ada beberapa aturan yang dapat diterapkan dalam pembesaran dan pelarangan penangkapan induk lobster bertelur. Salah satunya yaitu dengan mewajibkan nelayan (stakeholders) lakukan pembesaran benih lobster mengembalikan sebanyak 5% hasil pembesarannya ke alam. Dengan ini kan otomatis yang tadinya kesempatan hidup benih lobster hanya 1%, bisa kembali restocking 5% setelah pembesaran.

Sementara itu, Koordinator Penasihat Menteri, Rokhmin Dahuri mengaku ada empat langkah KKP dalam menangani persoalan benih lobster. Pertama akan membudidayakan (pembesaran) lobster, pengembangbiakan benih (hatchery), restocking, dan ekspor dalam jumlah sangat terbatas dan terkendali (kuota). Karena kalau ekspor langsung dimatikan, justru yang akan terjadi adalah black market dan yang kaya oknum-oknum saja.

Hal yang tak kalah penting yaitu memastikan tidak terjadi pengrusakan habitat lobster akibat penggunaan sianida dan bahan kimia berbahaya lainnya, blast fishing (penangkapan ikan dengan peledakan), serta cara-cara lainnya yang juga dapat merusak koral, termasuk pencemaran laut oleh limbah minyak. Jangan pertumbuhan terhambat hanya karena selalu bersembunyi di kedok lingkungan. Dan jangan juga dengan alasan lingkungan, tidak ada kehidupan. Tentu sisi lain, juga ingin pertumbuhan ekonomi juga tidak merusak lingkungan. Keduanya harus berjalan seimbang.[]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article