Krisis Pangan; New Normal Diprediksi Abnormal, Ketahanan Pangan Lebih Buruk

Rusdianto Samawa
10 Min Read

jfID – Salah satu tanda keabnormalan itu ada, ketika pemerintah terjebak sebagai Rezim Impor” untuk bertahan ditengah merosotnya stok pangan. Lagi pula, diantara kebijakan New Normal hadapi Covid-19 ada “sikap pemimpin yang tak lazim, yakni meresmikan pembukaan mall-mall untuk kembalikan kenormalan ekonomi agar negara memiliki pemasukan.

Pembukaan Mall-Mall ini pertanda pemimpin lemah memahami sejarah, perolehan sumber ekonomi dan keuangan negara. Peresmian itu kode amoral karena simbolisme pembukaan Mall-Mall itu pembelaan terhadap orang kaya raya.

Sementara, amanat konstitusi; pemimpin diminta membela rakyat-rakyat miskin yang selama ini korban Covid-19. Mestinya pemimpin itu membumikan haluan ekonomi Pancasila dalam prakteknya. Sehingga memaksimalkan konsolidasi pemerintahan tidak terasa berat.

Herannya lagi, ketika stok pangan berkurang; syogyanya pemimpin menunjukkan kekuatan bahwa bangsa ini berdaulat. Tentu strateginya memantapkan gerakan koperasi dan produksi pangan dalam negeri. Bukan impor garam, impor sayur, impor beras, impor gula dan lainnya.

Tak sejauh mata memandang, ancaman krisis pangan sudah terjadi lama sekali. Rezim Oligarki global selalu menganggap Indonesia percobaan apapun sebagai proyek raksasa, seperti Covid-19 ini. Pemimpin mestinya tampil strong sebagai bagian dari upaya mengantisipasi krisis pangan saat ini.

Dalam sejarah virus di Indonesi, amati lebih jauh lagi dari sebelum kasus Covid-19. Daerah – daerah di Indonesia yang sering menjadi sasaran utama sebaran Virus Biologis yakni: Kepulauan NTB, Kepulauan NTT, Kepulauan Melanesia Papua, Kepulauan Sumatera dan Kepulauan Kalimantan. Wilayah teritori ini semacam kelinci percobaan setiap virus.

Jelas, virus berhubungan dengan imun tubuh. Sementara imunitas itu syaratnya harus ada ketersediaan pangan yang baik dan sehat. Itulah yang dimaksud, agar pemimpin itu tampil secara kesatria memberi komando kedaulatan atas bangsa dan negara yang menegasikan masyarakat wajib melakukan penghematan dan menanam bahan pangan lokal.

Lalu, menggerakkan beli hasil tanaman pangan petani, nelayan dan pembudidaya lokal sehingga kemandirian atas pangan menjadi sentrum keselamatan bangsa dan negara dari berbagai kesulitan apapun yang dihadapinya. Ditengah pandemi Covid-19 ini, konsep ketahanan pangan dalam pengertian yang paling umum berarti keadaan dimana semua orang setiap saat memiliki akses ke makanan yang aman dan bergizi yang cukup untuk mempertahankan kehidupan yang sehat dan aktif. Ini adalah definisi “ketahanan pangan” yang disahkan oleh Konferensi Internasional tentang Nutrisi, Roma, Desember 1992.

Selama ini, pemerintah selalu berencana, belum terbukti atas pembukaan lahan persawahan baru dengan ekstensifikasi pada 4-5 juta hektar lahan untuk menggerakkan menanam pangan. Pangan merupakan kebutuhan mendesak Indonesia saat ini yang menentukan nasib keberlanjutan: Indonesia sebagai negara. Hal ini tentu harus diperhatikan.

Pangan merupakan penjamin pembangunan dan penyelamatan Indonesia. Dalam kondisi pandemi COVID-19 ini, tantangan semakin berat. Pemerintah memberlakukan PSBB setengah hati karena faktor ketersediaan pangan kurang. Begitu pun kebijakan New Normal juga tidak akan memberi dampak penurunan sebaran covid-19. Malah semakin lebih melonjak lagi angka terjangkit Virus Covid-19.

Dalam sejarahnya sendiri, istilah New Normal saja tidak akan mampu mengembalikan keperkasaan ekonomi. Istilah New Normal bukan produk pemimpin Indonesia sekarang, tetapi produk orang-orang kaya raya untuk menyelamatkan kondisi ekonomi mereka.

Padahal, sejarah juga mencatat bahwa; kemunculan pertama kali istilah New Normal didengungkan oleh masyarakat ekonomi dunia. Karena pada waktu itu terdapat tanda-tanda resesi ekonomi dan minusnya kesiapan stok pangan sehingga mendorong pada perubahan perilaku bisnis, pangan dan entitas politik akibat krisis ekonomi.

Bukankah saat ini? sedang terjadi disrupsi (korupsi, krisis pangan, distrust, krisis keuangan, kekosongan finansial, fluktuasi harga bahan pokok, dan perang dagang yang berakibat Indonesia sendiri menjadi: “rezim negara Impor.” Negara – negara yang bergantung impor pangan dan pengelolaan pangan buruk akan terdampak pada sutuasi: Abnormal yang berakhir pada resesi ekonomi.

Kondisi ini merupakan alarm (peringatan) agar menguatkan daya dukung kebutuhan pangan dan stabilitas ekonomi. Antisipasi ketersediaan pangan saat New Normal ini tidak terbatas pada aspek manusia (human capital & culture), cara kerja (process & technology), pelanggan, pemasok, mitra, dan stakeholders lainnya (business continuity). Tetapi, pemerintah harus menyusun timeline penyediaan pangan secara lokal yang terintegrasi.

Apalagi ditambah, proyeksi varian menengah PBB, tingkat pertumbuhan populasi cenderung melambat, secara global, dari 1,57 persen per tahun selama 1990 – 1995 menjadi 1,20 persen pada 2010 – 2015; perkiraan komparatif untuk Asia menunjukkan penurunan tingkat dari 1,64 persen menjadi 1,15 persen.

Harapan hidup, secara global, dari tahun 1990 – 1995 dari 64,4 tahun menjadi 69,9 tahun pada 2010 – 1995; di Asia, harapan hidup selama periode itu cenderung meningkat menjadi 73,2 tahun, meningkat 8,7 tahun dari level saat ini.

Dengan demikian, total populasi dunia diperkirakan akan terus berkembang secara dramatis, baik dalam jangka menengah maupun panjang. Dari tingkat saat ini sekitar 5,7 miliar orang, populasi dunia pada tahun 2050 dapat meningkat menjadi 9,8 miliar, di mana 5,8 akan hidup di Asia (dibandingkan dengan saat ini).

FAO memperingatkan melalui Global Report on Food Crisis yang dikeluarkan bulan April yang lalu bahwa dunia dalam ancam krisis pangan global. Walaupun dalam catatan FAO, Indonesia tidak disebutkan. Namun, posisi Indonesia sekarang: “sekarat ketersediaan pangan.” Sehingga tidak menutup kemungkinan semakin meningkat kesulitan rantai pasokan pangan.

Indikatornya, rantai pasokan pangan dunia terancam dan Indonesia sendiri menjadi: Rezim Impor yang bergantung pada keuntungan importir. Pemerintah, harus segera hadir untuk memberi komando kepada masyarakat Lokal agar tidak konsumsi impor dan menanam pangan secara mandiri. Sehingga meningkatkan produktivitas pangan nasional.

Apalagi, neraca perdagangan sektor pertanian dan Perikanan belum menunjukkan produksi yang maksimal sehingga ekspor komoditas kelautan, perikanan dan pertanian di tengah pandemi Covid-19, masih relatif terkendala. Kalau mengacu pada data BPS dan Badan Ketahanan Pangan tentang ketersediaan pangan, maka terdapat 11 komoditas strategis yang diprediksi dalam keadaan aman hingga tiga bulan ke depan.

Walaupun neraca perdagangan nasional hingga Juni diperkirakan surplus stok beras 6,4 juta ton, stok jagung sebanyak 1,01 juta ton, gula pasir sebanyak 1,07 juta ton, minyak goreng 5,7 juta ton, dan bawang merah 330.384 ton. Selain itu, bawang putih, cabai merah besar, cabai rawit, daging sapi, daging kerbau, telur ayam juga diperkirakan surplus. Semuanya dikatakan surplus diatas, tidak terbukti rakyat menikmati surplus pangan. Mayoritas oligarki menjarah pangan indonesia. Walaupun begitu, pemerintah tetap saja impor pangan seperti Sayur, Gula dan bawang.

Situasi pangan Indonesia gambaran kelemahan atau kemajuan suatu negara. Karena menggembirakan apabila terpenuhi, tetapi mencemaskan karena tidak merata. Indikator utama untuk memantau perkembangan ketahanan pangan adalah konsumsi per-kapita, dihitung berdasarkan neraca makanan nasional dan data populasi. Ini memberikan rata-rata pasokan Energi Makanan Harian (EMH) dalam kalori.

Diperkirakan orang-orang yang mengkonsumsi ratusan ribu kalori. Namun, jumlah orang yang digolongkan kurang gizi secara serius telah jatuh pada tingkat yang jauh lebih lambat ke level saat ini sekitar 840 juta – dalam persentase, penurunan 35 hingga 20 persen.

Bagi sejumlah negara berkembang, seperti Indonesia. Saat ini momentum perbaikan produksi dan distribusi pangan. Upaya tidak lagi ketergantungan terhadap impor makanan dari negara-negara maju. Karena proyeksi produksi pangan Indonesia kedepan akan sangat lambat.

Faktor negatif utama yang mempengaruhi keterlambatan itu adalah pertumbuhan yang tidak memadai dalam pendapatan per-kapita dan prevalensi kemiskinan parah di banyak negara. Implikasinya, persediaan makanan per-kapita mungkin tetap tidak memadai untuk kemajuan nutrisi yang signifikan.

Menurut FAO, sangat memengaruhi beberapa sektor, seperti pertanian dan perikanan. Khususnya di komoditas bernilai tinggi, seperti sayuran dan buah-buahan yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam produksinya. Sementara komoditas bahan pokok yang padat modal relatif tak terpengaruh. Begitupun sektor peternakan terpengaruh dalam hal pemenuhan pakan hewan ternak, proses penjagalan, serta pengolahan daging.

Kesimpulannya: secara global, banyak masalah ketahanan pangan saat ini akan bertahan dan berpotensi menjadi lebih buruk. Lalu, larangan perjalanan berdampak kepada distribusi pangan. Kebijakan ini membatasi operasional pelabuhan, truk pengangkut, sampai penerbangan yang berperan penting dalam mendistribusikan pangan lintas wilayah dan negara.[]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article