Diuji Kepiawaian Pemerintah Agar Negara Tidak Ambruk

Herry Santoso
5 Min Read

jfid – SETELAH Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres 64 tahun 2020 tentang kenaikan iuran BPJS, hampir semua kalangan “mengutuk” habis-habisan. Begitu juga setelah UU Tata Kerja dicuatkan, buruh dan mahasiswa demo besar-besaran. Ironisnya, para politikus yang berseberangan justru turut menyumbang opini sentimen negatif tersebut, dan memberikan kontribusi percepatan penggelindingan bola liar opini publik “anti pemerintah”. Fenomena itu lebih tepat jika dikatakan dengan bagian dari “jihad konstitusi” (contitutional jihad) golongan kanan (fundamentalis), yang selalu keok dalam pemilihan umum.

      Mereka tak bosan mencari kesempatan untuk menikam pemerintahan dari belakang (looking for oppurtunities to stab governance from behind) — Salim Said, 2010–, seraya mempengaruhi berbagai kalangan masyarakat, termasuk ASN. Inilah yang acap  dikatakan politik agama, untuk kasus Indonesia, disebut ekstrem kanan alias kaum intoleran.

Ekonomi Terjun Bebas

      Sesungguhnya segala regulasi pemerintah yang cenderung “labil” (tidak tetap) tersebut hanya untuk menyiasati agar ekonomi kita tidak “terjun bebas” ( freefall economy ) sebagaimana yang dialami oleh Amerika Serikat, Italy, Spanyol, dan Uruguay rata-rata minus 5 – 20%. Ini sebuah kondisi ambang batas negara dalam krisis ekonomi, laiknya yang terjadi di Indonesia tahun 1998/1999.
     
     Untuk kasus Indonesia, agaknya pemerintah lebih hati-hati agar krisis nasional tidak terjadi. Menkeu Sri Mulyani, sebagai pioner ekonomi berjuang dengan sepenuh jiwa raga agar krisis ekonomi sebagai dampak Covid 19 dapat diantisipasi.  Sebab, resesi ekonomi Indonesia jangan sampai diiringi dengan pembalikan modal dari para investor (capital outflow) sebagaimana terjadi di India, dan China. Investor akan mengambil modalnya yang ditanam di negeri ini, dan itu memang sebagai trend di tengah pandemi Covid 19. Jika tak terkendali  nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa terjun hingga Rp 20.000,-/dolarnya.
    
Sungguhpun demikian, untuk negara berkarakter agraris laiknya Indonesia tidak akan separah negara-negara full industri. Sebab, petani masih bisa menanam kebutuhan pokok untuk mencukupi kebutuhannya.

      Untuk itu regulasi pemerintah selalu terkesan setengah hati dan tidak percaya diri. Itu semua merupakan strategi dan trik agar negara tidak bangkrut. Ketidakpastian regulasi itu misalnya tentang mudik, dan transportasi tempo hari. Awalnya pemberlakukan larangan total mudik lalu tiba-tiba dibuka lagi, larangan aktivitas transportasi darat, laut dan penerbangan kemudian dibuka lagi. Secara awam memang sulit diterima, akan tetapi sesungguhnya hal tersebut merupakan upaya agar ekonomi tetap berkontraksi. Kenyataannya, Indonesia satu-satunya negara yang masih “surplus” pangan di tengah Pandemi Covid 19 di Asia. Devisit APBN  kita memang tak bisa dihindari, tetapi bukan serta-merta diikuti krisis ekonomi, dan rupiah masih relatif  jawara di pasar uang Asia. Padahal harga minyak dunia benar-benar terjun bebas hanya dalam kisaran  26-31dolar AS/barel.     Prediksi berbagai pengamat ekonomi, pandemi Covid 19 akan membuat rupiah terpuruk menjadi Rp 20.000,- – Rp 22.000,- / dolar AS, dan orientasi pertumbuhan ekonomi (growth economy oriented) bisa minus 10-14 %.
     
      Akan tetapi hal itu tidak terbukti. Insentif bantuan terhadap rakyat jalan terus, pangan mudah dicari dengan harga relatif murah. Inilah berkat regulasi yang nomaden dari pemerintah. Alhasil devisit anggaran negara yang carut-marut lchaocic state budget) tidak terjadi di negeri tercinta ini.

Pemahaman pada Rakyat

      Sayangnya sebagian masyarakat kita tidak memahami denyut regulasi yang diambil pemerintah, mereka justru mulai termakan isu hoaks yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yakni kaum oportunis politik atau yang ditengarai sebagai kelompok bermainstream “sakit hati”. Sehingga kepentingan pribadi lebih menguasai hati nurani daripada rasa kepentingan yang berwahana nasionalisme-kebangsaan (nation and character building ). Akibatnya seolah-olah pemerintah sibuk sendiri rakyat cuma with and see dan yang sangat ironis kaum politisi justru bersikap ambivalen (mendua).


      Untuk itu mari kita bela negara dari aneksasi pandemi Covid 19 yang mengerikan. Anggapkah Covid 19 (saat ini) menjadi musuh bangsa yang utama, agar Indonesiaku tetap berjaja. Merdeka ! ***

————————————–

Penulis adalah jurnalis,  pemerhati sosial, politik, dan budaya tinggal di Blitar, Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article