Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
No Result
View All Result
Kirimkan
Jurnal Faktual
  • News
    • Peristiwa
    • Hukum dan Kriminal
    • Politik
    • Birokrasi
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Wisata
    • Profil
  • OpiniHot
Kirimkan
  • Login
  • Register
New & Opini
Home Headline

Dilema Pendidikan, di Era Nadiem Makarim

by Herry Santoso
4 bulan ago
in Headline, Opini, Pendidikan
Reading Time: 7min read
0
Gambar ilustrasi dunia Pendidikan (foto: beritatagar.id)

Gambar ilustrasi dunia Pendidikan (foto: beritatagar.id)

Share on FacebookShare on Twitter

jfid – SEJAK Nadiem Makarim, dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dunia pendidikan kita ditengarai “stagnan” terlebih disambut pula oleh pandemi global Covid-19. Padahal diharapkan Nadiem menjadi agen pembaharu (agent of reform) dalam dunia pendidikan kita yang selama ini ditengarai “jalan di tempat” dan sangat lamban. Seolah-olah pendidikan kita tidak bisa menjadi restorasi sumber daya manusia (SDM) masa depan yang bercorak egaliter progresif revolusioner. Artinya, mampu menjembatani tuntutan masa depan yang sarat pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge-technologie growth oriented).

Selain setiap kali kita ganti menteri tak lebih cuma seremoni rutinitas : bongkar-pasang kurikulum, pabrik permen, yang ujung-ujungnya stagnan dan monotonitas, bahkan segala kebijakannya hanya menambah beban tugas guru di lapangan. Pendek kata, dunia pendidikan kita selalu menjadi “kelinci percobaan” (experiment rabbit) para ilmuwan hebat di negeri ini meski belum tentu yang terbaik, atau bahkan selalu terkooptasi oleh kepentingan politik sebuah rezim (kekuasaan) !

Kemudian yang menjadi tanda tanya besar terhadap Kemendikbud adalah : Mungkinkah Nadiem Makarim benar-benar mampu “mengawinkan” pendidikan berbasis iptek dengan ekonomi kreatif sebagaimana keinginan pemerintah ke depan?

Sebab, berbicara pendidikan di Indonesia tidak akan sama dengan teori akademis, meski berbasis kekinian sekalipun. Ruh pendidikan di Indonesia adalah senyawa antara ilmu pengetahuan (knowledge), budaya (culture), keterampilan (skill), dan budi pekerti (character). Meramu keempat dimensi itulah yang kadang membuat kebijakan kementerian acapkali kurang tepat sasaran (untuk tidak mengatakan gagal).

Sebab selama ini
Kebijakan kementerian pendidikan kita acapkali terjebak oleh euforia politik, yang justru bias dengan ruh yang menjiwai dunia edukasi. Alhasil bila penetrasi regulasi sering gagal, dan sering mencari kambing hitam, dan korbannya pelaku/kondisi di lapangan misalnya : faktor guru, faktor orang tua, faktor lingkungan, dan seterusnya.

BACAJUGA

No Content Available

Perubahan Sistem

Yang kerap menghadirkan permasalahan justru perubahan sistem, dari model konvensional ke model baru. Karena perubahan tersebut berdampak pada operasional di lapangan yang acap mengalami kepincangan. Mengapa? Sebab dalam satu sisi guru dan peserta didik belum siap menerima perubahan yang gegas tersebut, sedangkan di sisi yang berbeda, pendidikan kita sudah mengarah ke basis kekinian hanya lantaran euforia global. Seperti yang terjadi saat ini pendidikan kita sudah sepenuhnya berbasis digitalisasi atau IT (information technologie).

Dalam evaluasi belajar-mengajar pun sudah menggunakan sistem komputasi (online), meskipun banyak sekolah yang justru masih terseok-seok mengejar kekurangan (baca : ketertinggalan). Alhasil sistem tersebut tidak berjalan mulus. Begitu pula saat diadakan UKG (Uji Kompetensi Guru), cenderung tidak berjalan mulus lantaran banyak guru yang masih gaptek, yang pada gilirannya seolah UKG merupakan momok untuk mengajustivikasi “kebodohan” guru. Padahal guru yang gagal di UKG belum tentu guru yang dungu. Ia justru sarat pengalaman mengajar, bahkan aktor dalam penanaman nilai-nilai berbasis karakter (budi pekerti) pada peserta didik.

Lebih-lebih ketika tiba-tiba planet bumi didera wabah Covid-19, praktis sektor pendidikan kita semakin termangu-mangu di simpang jalan : mau ke mana ? Lebih parah sistem uji coba dan adaptasi selama pandemi jadi tumpang-tindih, saling-silang, serta kesemerawutan lain yang membarengi kelinci percobaan satu ke kelinci percobaan lain, dan melahirkan “latahisme” dalam cyber technologie serta ketimpangan-ketimpangan. Pertama, terabaikannya segala bentuk konvensional, dan hanya menghargai sesuatu yang berbasis kekinian. Fenomena ini tidak bisa dipandang sepele, karena sejatinya kekuatan pendidikan di sekolah-sekolah sampai saat ini masih tetap berada pada guru-guru yang “gaptek”.

Kedua, karena dengan diberlakukannya model cyber tersebut, juga berpengaruh terhadap sistem penerimaan pendidik dan tenaga kependidikan. Akibatnya sungguhpun sebenarnya kita sangat kekurangan tenaga pendidik (guru) namun sulit terpenuhi lantaran pelulusannya tidak didasarkan kompetensi dan lamanya pengabdian melainkan hanya “mudeng teknologi” komputasi, dan ketiga, banyak pemerintahan di daerah yang tidak mampu menjembatani kebutuhan perangkat lunak tersebut untuk dianggarkan di APBD masing-masing daerah dan didrop ke sekolah-sekolah. Akhirnya pihak sekolah sendiri yang berusaha memenuhi kebutuhan dengan menarik sumbangan pada walimurid, dan ini yang menjadikan pendidikan biaya tinggi (high cost education).

Apa yang disebut terakhir jelas kontra produktif dengan regulasi pemerintah tentang “pendidikan gratis”. Lebih jauh lagi, kenyataannya anggaran pendidikan secara nasional 20% dari APBN sampai saat ini belum muncul dan terpenuhi, sehingga jargon nasional yang berlindung dibalik undang-undang tersebut semakin jauh panggang daripada api.

Pendidikan Paralel dengan Pertumbuhan Ekonomi Kreatif

Siapapun pasti kebingungan untuk memahami idealisme tersebut. Apakah lulusan pendidikan formal harus ber-output pada pertumbuhan ekonomi kreatif, ataukah sebaliknya. Tetapi profil Nadim Makarim sendiri adalah pelaku ekonomi kreatif yang berbasis IT, contoh, Gojek.

Apabila lulusan sekolah (sebut : SMA sederajad) ber-output ekonomi kreatif sangatlah tepat. Sebab lulusan SMA (sederajad) saat ini menjadi “kartu mati” di pasar kerja. Tetapi sungguhpun demikian, harus ada perubahan kurikukum sejak sedini mungkin yaitu mulai sekolah dasar untuk menuju berbasis ekonomi kreatif. Hal tersebut sudah diterapkan di negara-negara maju laiknya Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan di Barat (Eropa-Amerika).

Untuk Indonesia perlu kajian mendalam, karena segmentasi pendidikan kita dibedakan menjadi tiga yaitu (1) struktur kota (2) struktur pedesaan dan (3) struktur kawasan terpencil. Jangan-jangan program yang akan dihela oleh Mendikbud nanti hanya akan mentok menjadi pilot project saja. Kalau seperti itu kenyataannya maka semua regulasi hanya akan menjadi kalungan puisi indah tanpa kenyataan, dan itu merupakan petaka buat bangsa. Nah…

Herry Santoso, adalah pemerhati masalah sosial, budaya, dan pendidikan tinggal di Blitar Jawa Timur.

ShareTweetSendShare

Related Posts

Ilustrasi Over Fishing Lobster (foto: Inews)

Regulasi Larang Ekspor Benih Lobster Tidak Jelas, Alias Statemen Doang

2 hari ago
Agus Harimurti Yudhoyono (foto: istimewa)

Ujian Sang Mayor

3 hari ago
Ilustrasi keberingasan Kapitaslime

Kapitalisme Lahir Karena Indonesia

3 hari ago
Artidjo Alkostar, (antara foto)

Artidjo Alkostar Kyai Hakiki, bukan Asesori

5 hari ago
Slamet Ariyadi, saat memberikan masukan riset dan inovasi garam di UTM

Universitas Trunojoyo Madura Direkom Sebagai Fasilitator Garam Nasional

1 minggu ago
Rusdianto Samawa, Tinjau Lokasi pembibitan benih bening Lobster

KKP Belum Memberi Perlindungan untuk Nelayan Lobster

1 minggu ago
Load More
Next Post
Gambar "Togog," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

Togog

Discussion about this post

POPULER

  • Baca
  • Opini
  • Berita
Foto : Turnamen sepak Takraw Lalu Hadrian Irfani (LHI) CUP di Desa Kerembong, Kecamatan Janapria, Kabupaten Lombok Tengah
Berita

Takraw LHI CUP Disambut Antusias Warga Kerembong Janapria

08/03/2021
Musyawarah Cabang DPC PKB Sumenep, Minggu 7 Maret 2021 (foto: jurnalfaktual.id)
Berita

Susunan Pengurus DPC PKB Sumenep, tak Ada Nama Busyro Karim

08/03/2021
Musyawarah Cabang DPC PKB Sumenep, Minggu 7 Maret 2021 (foto: jurnalfaktual.id)
Berita

Kyai Imam Hasyim Terpilih Kembali sebagai Ketua DPC PKB Sumenep

08/03/2021
Foto : H Ruslan Turmuzi Anggota DPRD NTB saat memberikan sumbangan kepada anak Yatim dan orang tua jompo di Ponpes Mambaul Bayan, Kopang, Lombok Tengah
Berita

H Ruslan Turmuzi, Robin Hood dari Kandang Banteng Lombok Tengah

08/03/2021
Jurnal Faktual

© 2020

Informasi

  • Pedoman
  • Redaksi
  • Periklanan
  • Privacy Policy
  • Tentang
  • Rilis Berita
  • Saran Translate

Terhubung

No Result
View All Result
  • Opini
  • News
    • Birokrasi
    • Hukum dan Kriminal
    • Kesehatan
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Politik
    • Wisata
    • Profil
    • Polling
  • Kirim Tulisan
  • Login
  • Sign Up

© 2020

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.