Dawai Demokrasi: Antara Isegoria dan Parreshia

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Backdoor!" 29x37 cm, abu rokok di atas kertas (Heru Harjo Hutomo, 2017)
"Backdoor!" 29x37 cm, abu rokok di atas kertas (Heru Harjo Hutomo, 2017)

jfID – Sokrates namanya. Konon mukanya buruk, hidungnya besar. Kebiasaannya hanya blusukan ke mana-mana: pasar, alon-alon, dan ruang-ruang publik lainnya. Tujuannya hanya satu: mengajak orang untuk mempertanyakan diri sendiri, pandangan-pandangan hidupnya, profesi, dst. Agar orang itu tak sekedar hidup. Agar orang itu tampak berbudi. Agar orang itu tahu dirinya sendiri. Agar orang itu tahu bahwa sebenarnya ia tak tahu apa-apa, sekedar mengikuti kebiasaan. Maka terkenallah Sokrates sebagai seorang provokator yang kemudian menggiringnya untuk menerima hukuman karena dianggap mengacau tertib sosial. Hanya itukah alasan Sokrates? Ada sumber lain mengatakan bahwa ia sengaja menggoyahkan keyakinan kebanyakan orang untuk menjauhi isterinya yang judes. Tapi yang pasti, Sokrates adalah representasi dari seorang filosof dalam arti ketatnya: orang yang terobsesi pada kebenaran.


Barangkali, Sokrates adalah salah satu filosof yang mewakili tradisi isegoria di masa Yunani purba. Isegoria adalah aksi menyatakan pendapat, beradu argumen di ruang-ruang publik, tentang kehidupan sosial-politik warga kota (polis). Dahulu demokrasi ala Athena adalah sebuah demokrasi langsung di mana para warga kota dapat menyalurkan aspirasinya tanpa delegasi atau perwakilan. Seorang seniman misalnya, sebagaimana yang dicontohkan oleh Sokrates, sudah terbiasa untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasarnya tentang seni dan seniman. Kenapa menjadi seniman, apa beda antara seniman dan perajin, dst. Karena itulah, berbeda dengan pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa Sokrates adalah seorang yang anti-demokrasi, justru dengan segala kiprah-nya dalam mempertanyakan asumsi-asumsi dasar guru dari seorang Plato itu menginginkan demokrasi yang tak sekedar demokrasi selebratif, suara mayoritas adalah suara pemenang. Bisa jadi, dalam proses demokrasi tersebut orang-orang sekedar ikut-ikutan, karena faktor keterpaksaan atau faktor lainnya. Dengan demikian, dalam konteks sekarang, Sokrates tak memandang bahwa suara mayoritas adalah suara kebenaran.


Tampaknya, Sokrates sudah menunjukkan kekhawatirannya terhadap populisme seperti di masa sekarang, di mana kebudayaan ditandai oleh adanya fenomena the death of experts: yang berbicara, yang berguna, adalah orang-orang yang bukan ahlinya. Sehingga segala sesuatunya akan ruwet dan membingungkan, seperti menyikapi secarik surat kaleng yang tak beralamat jelas, yang dapat salah rumah atau salah sasaran.


Merasakan demokrasi di tengah populisme yang radikal—seperti yang tampak dalam ekspresi perendahan manusia yang sampai menyimpang dari akal-sehat, di mana manusia tiba-tiba dapat dikategorisasikan sebagai “golongan paria”—seperti halnya mendengarkan petikan dawai gitar yang fals, terhibur tidak malah muak yang menyalak. Ada yang mengatakan bahwa menjamurnya media-media sosial adalah yang menjadi salah satu penyebabnya. Karena dengan sarana digital itu siapa pun bisa mendadak menjadi tenar (yang segera pudar). Maka pada dasarnya, untuk sedikit menyinggung Debord (Kelam Zaman Masyarakat Tontonan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org), tentang siapa yang sesungguhnya menjadi tontonan pada fenomena masyarakat tontonan adalah masyarakat pada umumnya, seturut dengan semangat populisme itu sendiri. Tapi saya kira, media-media sosial hanyalah serupa pisau yang nilainya tergantung pada penggunanya. Hanya memang, di tengah populisme seperti ini, ia memang memberi ruang bagi siapa saja untuk berunjuk gigi tanpa tebang-pilih. Siapa pun seakan tak perlu menjadi politisi dan duduk sebagai anggota dewan untuk sekedar menyuarakan aspirasi atau menjadikan kehidupan personalnya sebagai bahan pergunjingan.


Berbeda dengan isegoria yang lekat dengan citra populistiknya, karena siapa saja bebas berbicara atau menyatakan pendapat tanpa batas dan beralamat jelas, demokrasi di masa Yunani purba juga mengenalkan tradisi parreshia di mana kebebasan berbicara atau menyatakan pendapat tersebut mesti mengenal adab: kapan saatnya berbicara, bagaimana caranya berbicara, dan kepada siapa ia berbicara. Berbicara adab adalah sudah pasti berbicara keahlian atau minimal tahu duduk persoalannya, sehingga tak terkesan dawai demokrasi jelek di kuping. Saya kira harmoni berdemokrasi adalah terletak pada tradisi parreshia tersebut dan bukannya isegoria, yang barangkali hanyalah sarana Sokrates untuk menghindari isterinya yang judes.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article