Charlie Hebdo Menandai Rendahnya Martabat Pers

Deni Puja Pranata
3 Min Read

jfid – Charlie Hebdo sebuah media cetak di Prancis yang menerbitkan berulang kali kartun Nabi Muhammad sebagai tanda rendahnya martabat pers Dunia. Kebenaran jurnalisme memang bukan sebuah kebenaran agama atau filsafat. Namun, kebenaran fungsional adalah hal utama dari publikasi sebuah media.

Motif ekonomi adalah hal utama yang tampak jelas diperlihatkan salah satu media Prancis itu. Redaksi Charlie Hebdo secara sengaja menjual kebebasan pers demi mencari sensasional dan menciptakan kegaduhan, yang semata-mata jelas untuk keuntungan.

Sebelumnya majalah Charlie Hebdo, pada 2006, 2011 dan 2015 telah menampilkan kartun Nabi Muhammad. Dan tindakan itu, sudah mendapat protes dari para kaum muslimin.

Kritik dan protes itu dijadikan sebuah pelajaran bisnis bagi majalah Charlie Hebdo. Awal September 2020, majalah tersebut kembali menampilkan kartun Nabi Muhammad di halaman depan.

Walau setahun sebelumnya, karikatur Nabi Muhammad yang menggambarkan surbannya dengan Bom, pernah diterbitkan dalam surat kabar Denmark, Jyllands-Posten.

Logika bisnis, jika perusahaan majalah Charlie Hebdo, pada 2011 dan 2015 merugi secara ekonomi. Maka di awal September 2020, majalah dengan menampilkan kartun Nabi Muhammad takkan pernah dilakukan. Motif ekonomi adalah tindakan utama yang dilakukan Charlie Hebdo tanpa mempertimbangkan multikulturalisme.

Dilansir dari The Signal, Charlie Hebdo meyakini bahwa freedom of speech atau kebebasan berbicara dalam jurnalistik tidak memiliki batasan apapun.

Kebebasan tanpa batasan itulah yang membelenggu dunia Pers. Sensitivisme sosial, ras, suku, agama, dilanggar oleh majalah yang berdiri di tahun 1969 (Charlie Hebdo) dengan mengatasnamakan kebebasan pers.

Hingga detik ini, lembaga pers dunia seperti Dart Center for Journalism and Trauma,
Associated Press, Bloomberg, International Press Institute (IPI), masih belum mengecam sikap majalah Charlie Hebdo. Kecaman hanya datang dari media-media Turki. Setidaknya Dewan Pers angkat bicara soal kasus Charlie Hebdo sebagai pembelajaran Pers di Indonesia.

Siapa yang tidak sepakat dengan perkataan Pram, “Seorang terpelajar harus benar dalam fikiran, apalagi dalam bertindak,”

Namun, kebenaran-kebenaran tidak boleh tergadaikan dengan nama kebebasan. Mustahil jika redaksi Charlie Hebdo tidak faham, menggambarkan Nabi Muhammad dengan Kartun, Karikatur, atau dengan apapun adalah sebuah penghinaan bagi ummat muslim.

Soal keteguhan Emmauel Macron tentang sebuah tradisi mempertahankan kebebasan berpendapat dan berekspresi? Tanyakan pada pak Jokowi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article