Bermasyarakat dengan Kearifan

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Kelam Zaman Masyarakat Tontonan," 60x100 cm, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Kelam Zaman Masyarakat Tontonan," 60x100 cm, Heru Harjo Hutomo, 2020

Myat langening kalangyan

Aglar pandam muncar

Tinon lir kekonang

Surem sorote tan padhang

Kasor lan pajare

Purnameng gegana

Dhasare mangsa katiga

Hima anaweng

Ing ujung ancala

Asenen karya wigena

Miwah isining wana

Wreksa gung tinunu

—Suluk Pathet Kedu

jfid – Nusantara, konon, adalah sebuah wilayah persinggungan dengan para penghuni yang sudah matang dengan masalah ketuhanan. Koentjaraningrat juga mengabarkan bahwa agama-agama yang singgah pertama kali di wilayah ini adalah agama-agama dalam bentuk mistisismenya dimana, menurut Ricklefs, sama sekali tak asing dengan penduduknya. Sebab, dalam catatan Ricklefs, terdapat apa yang disebutnya sebagai “kontinuitas mistis” antara mistisisme agama-agama yang singgah itu dengan kearifan-kearifan warisan bangsa Nusantara.

Karena itu, tak salah ketika ada yang mengatakan bahwa agenda-agenda Islam radikal semacam daulah islamiyah ataupun khilafah hanyalah serupa adegan perang kembang dalam pagelaran wayang purwa, sebuah konflik yang tak pokok dan tak menentukan akhir keseluruhan lakon. Taruhlah penyikapan bangsa Nusantara atas eksistensi Islam radikal-transnasional yang waktu itu sudah berunjuk gigi. Para pujangga Nusantara cukup meresponnya dengan menciptakan sebuah karakter dewa kematian dalam pewayangan, dimana sang dewa itu dibuat buruk rupa, bengis (bersenjatakan golok dan bukannya keris), berpostur tinggi besar, konyol dan goblok sehingga kerap menjadi bahan olok-olok para panakawan. Sang dewa kematian itu dinamakan Bathara Yamadipati yang berkahyangan di Yomaniloka, dimana kedua istilah itu memiliki kedekatan pengucapan dengan negeri Yaman atau Hadhramaut yang konon juga berarti “lembah kematian.”

Secara politis, wujud dan karakter Bathara Yamadipati adalah serupa kiprah kalangan yang gemar mengeksploitasi sisi permukaan agama yang sebetulnya masih debatable, benarkah hal itu yang menjadi substansi agama Islam atau sekedar warisan kebudayaan Arab dimana keduanya memang tak gampang untuk dipilah oleh kalangan awam?

Sebagai dewa kematian dan penjaga neraka, Bathara Yamadipati tentulah melihat segala sesuatu secara hitam-putih. Baginya, sama sekali tak ada ruang ambang, jalan tengah, atau titik-singgung di antara berbagai hal yang berbeda. Maka tak salah ketika para pujangga Nusantara mengangkatnya sebagai sesosok dewa, sebab berperan laiknya Tuhan memang sudah menjadi kebiasaan kalangan yang ditengarai radikal. Padahal, dalam catatan para arif, logika Tuhan dan logika agama adalah dua hal yang dapat dipilah. Logika agama—sejauh agama dipahami sebagai hukum atau seperangkat tata aturan—belum tentu selaras dengan logika Tuhan. Bukankah banyak kisah berhikmah yang memiliki moral story bahwa meskipun seseorang itu cukup suci dalam perspektif syari’at, belum tentu ia suci dalam perspektif Tuhan. Bukankah Iblis, yang konon lebih senior dalam kumawula-nya dan lebih luhur bahannya dari manusia, justru menjadi titik terjauh dari Tuhan?

Kesucian dan keluhuran yang pernah menjadi kebanggaan Iblis inilah yang saya kira menjadi pusaka ampuh kalangan radikal untuk mewujudkan agenda-agendanya. Maka di zaman ini perendahan-perendahan yang berbungkus agama pada pihak-pihak yang dianggap menjadi batu sandungan seolah menjadi santapan sehari-hari yang memang cukup laku ketika dijadikan komoditas politik.Bangsa-bangsa Nusantara, yang sampai sekarang masih bening tercermin dari berbagai masyarakat adat yang ada (seperti Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Sedulur Sikep, Baduy, dst.), ternyata seolah tak menjadikan agama-agama formal, atau hal-hal yang berkaitan dengannya, sebagai sesuatu yang pokok dalam hal bermasyarakat dan bahkan bernegara. Dengan berbagai warisan-warisan kearifan mereka, yang tentu saja tak berbahasa dan beratribut Arab, tampak jauh lebih beradab dari kalangan yang secara terang-terangan mengklaim sebagai beragama. Membandingkan para pewaris kearifan-kearifan lokal itu dengan kalangan yang suka membawa-bawa agama secara vulgar, rasanya seperti membandingkan kearifan rembulan dengan kearifan kunang-kunang. Dan tentu saja, secara autochthonous, rembulan terbukti lebih berdaya tahan lama dan lebih dibutuhkan oleh orang-orang yang mengalami kegelapan daripada kunang-kunang yang konon berasal dari kuku-kuku jasad yang sudah dikebumikan.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article