Jfid – Kasus pernikahan dini di Indonesia kembali mencuat, kali ini melibatkan pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) di Lumajang yang diduga menikahi santriwatinya yang masih di bawah umur.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah ini merupakan bentuk cinta terlarang atau manipulasi berkedok agama?
Latar Belakang Kasus
Pernikahan ini terungkap setelah warga melaporkan peristiwa tersebut ke pihak berwenang.
Sang pengasuh, yang seharusnya menjadi pembimbing moral, justru diduga menyalahgunakan posisinya.
Santriwati tersebut, yang berusia di bawah 18 tahun, dinikahi dengan dalih ajaran agama, memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk pemerhati hak anak dan aktivis perlindungan perempuan.
Data Pernikahan Dini di Indonesia
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, angka pernikahan dini di Indonesia mencapai 10,82%, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 10,35%.
Lumajang termasuk salah satu daerah dengan tingkat pernikahan dini yang cukup tinggi.
Fenomena ini sering kali didorong oleh faktor ekonomi, budaya, dan pemahaman agama yang keliru.
Cinta Terlarang atau Manipulasi?
Dalam banyak kasus, pernikahan antara pengasuh ponpes dan santriwati sering dibalut dengan alasan cinta.
Namun, menurut Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), banyak dari hubungan ini mengandung unsur manipulasi.
Anak-anak di bawah umur belum memiliki kedewasaan emosional dan mental untuk memahami implikasi dari pernikahan, sehingga rentan menjadi korban.
Pakar psikologi sosial, Dr. Rini Astuti, menyatakan bahwa pernikahan di bawah umur sering kali bukan didasari cinta, melainkan tekanan sosial dan pemahaman agama yang salah.
Manipulasi berkedok agama juga menjadi alat bagi pelaku untuk membenarkan tindakannya, menciptakan tekanan psikologis bagi korban.
Dampak Psikologis dan Sosial
Pernikahan di bawah umur memiliki dampak serius terhadap kesehatan fisik dan mental anak.
World Health Organization (WHO) mencatat bahwa anak-anak yang menikah di usia dini berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan memiliki kesehatan mental yang buruk.
Selain itu, mereka cenderung putus sekolah dan kehilangan peluang untuk mengembangkan diri secara optimal.
Upaya Pencegahan
Untuk mencegah kasus serupa terulang, diperlukan langkah-langkah pencegahan yang efektif:
- Edukasi Seksual dan Kesehatan Reproduksi: Mengedukasi santri dan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi dan bahaya pernikahan dini.
- Penegakan Hukum: Memperketat regulasi dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku pernikahan di bawah umur.
- Pendampingan Psikologis: Memberikan dukungan psikologis kepada korban agar dapat pulih dari trauma.
Kesimpulan
Kasus pernikahan di bawah umur di Ponpes Lumajang menunjukkan adanya celah dalam perlindungan anak dan perlunya penanganan yang serius.
Cinta terlarang atau manipulasi, keduanya tidak dapat dibenarkan dalam konteks pernikahan anak.
Upaya kolektif dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sangat penting untuk melindungi masa depan anak-anak Indonesia.