Setelah Jokowi?

Deni Puja Pranata By Deni Puja Pranata
6 Min Read
- Advertisement -

jfid – Awal tahun 2022, mungkin terlalu dini membicarakan siapa setelah Jokowi? Tentu perkataan ini menjadi subversif bagi orang yang fanatik Jokowi. Cerita kala itu, Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam sebuah acara di Maiyah pernah berkata dengan lantang. ” Besok, 2024, Indonesia harus dipimpin oleh orang berkelas Dunia. Pemimpin kaliber dunia,” tegas Ainun Nadjib.

Dalam kacamata perang, Ainun Nadjib secara radik mentransformasikan strategi Winston Churchill perdana menteri Inggris untuk menaklukkan kekuatan super power Hitler. “Kuras Kolamnya, bersihkan ikannya,”

Iya, sebuah filosofi yang berangkat dari pesimesme untuk melangkah optimis. Karena melihat sebuah realitas yang tak dikehendaki dan ada upaya besar untuk mendekonstruksi (das sein das sollen). Kali ini, tidak ada pembahasan tentang kegagalan atau prestasi Jokowi memimpin Negeri. Tidak sedikitpun.

Sedikit menoleh ke belakang, sebelum Pilpres 2014. Terbit sebuah buku yang berjudul “100 Obama Indonesia” dalam daftar tokoh yang tertera dalam buku itu, tak ada nama Jokowi. Saya lupa secara detail penulis buku tersebut, namun, secara mengejutkan, dalam daftar buku itu, tercatat sederet nama-nama koruptor, seperti halnya Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng.

Artinya, seorang Jokowi secara tiba-tiba muncul menjadi monster politik yang siap menaklukkan rival politiknya. Apakah Jokowi berangkat dari gorong-gorong atau dengan gaya khas blusukan nya.? Tidak. Sekali lagi tidak, tapi bandar politiklah yang berperan penting dalam pemenangan kontestasi Pilpres. Ini Asumsi.

Seorang Sandi (Cawapres 2019) secara blak-blakan mengatakan, jika secara pribadi, dirinya menghabiskan setidaknya 1 Triliun dalam kost politik di Pilpres 2019. Coba bayangkan, saat Jokowi mencalonkan di 2014? Dari walikota Solo, menjadi Gubernur Jakarta, berapa kekayaannya?

Oligarki Akomodatif (menjaga kompetisi dan konsensus dengan partai lain di eksternal partai): Pertukaran atau memberikan suaka politik pada rival. Mari kita bedah oligarki politik setelah Jokowi.

Oligarki Politik

Saat ini, beberapa lembaga survei ternama telah merilis popularitas dan elektabilitas dari sederet nama Capres terkuat di 2024. Sebut saja, Anis Baswedan, Ganjar Pranowo, dan wajah lama Prabowo. Secara tiba-tiba, nama-nama itu bisa saja menjadi penghibur atau musnah di 2024. Itu tergantung sejauh mana pemodal menghendaki arah kepemimpinan yang hendak dikapitalisasi.

Oligarki atau kelompok elit di pemerintahan Jokowi, secara linier tentu menghendaki Ganjar Pranowo atau Puan Maharani yang berafiliasi dengan Jokowi (Kelanjutan dari pemerintahan Jokowi).

Kelompok elit pemodal yang tidak ber plot pada Ganjar atau Puan, tentu di pihak Anis Baswedan, itupun dengan catatan: Jika Gerindra rela tidak mengusung Prabowo.

Direktur Pengembangan Kesetaraan dan Studi Globalisasi Northwestern University, Amerika Serikat Jeffrey Winters mengatakan, dinamika politik pemerintah Indonesia hingga kini masih dikuasai para oligark (elit) dengan kepentingan kekuasaan. Hal ini berawal dari selepas era Orde Baru hingga memasuki masa reformasi, belum ada pola perubahan sistem pemerintahan yang fundamental dimana kekuasaan berbasis kepentingan masih membudaya dan terpelihara di kalangan figur politik.

Kekuasaan finansial membelenggu demokrasi. Pemerintahan oligarki secara samar menodong setiap orang yang tidak sejalan dengan alasan-alasan tersembunyi.

Kecenderungan pemodal dan bandar politik yang bersembunyi di ketiak partai memudahkannya mengambil peran dan menentukan, siapa yang cocok dan memiliki kepatuhan untuk menjadikan Negara sebagai bisnis.

Nama nama Capres dan Cawapres 2024

Dari nama-nama Capres dan Cawapres yang dirilis oleh Lembaga survei New Indonesia Research & Consulting memaparkan tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden terkuat pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

“Prabowo paling kuat ketika berpasangan dengan Puan Maharani, Ganjar dengan Ridwan Kamil dan Anies Baswedan berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono,” kata Direktur Eksekutif New Indonesia Research & Consulting Andreas Nuryono melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa. Sebagaimana dikutip dari Antara, Rabu (19/1/2022).

Terbelahnya PDIP

Dengan issu munculnya nama Ganjar Pranowo sebagai Capres dan Puan Maharani sebagai Cawapres. Tentu, ini menjadikan dinamika blunder di tubuh Banteng. Dalam satu partai ada dua calon, itu bisa saja terjadi.

Gesekan di tubuh Banteng sudah tercium, saat Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo) memberikan bantuan pada salah satu kader PDIP di Temanggung, Solo. Tiba-tiba, ke esokan harinya, kader PDIP itu yang juga sebagai ketua PAC, mengembalikan bantuan dari sang Gubernur pada lurah setempat. Api kecil mulai menyala.

Dinamika internal PDIP juga terjadi, saat Ganjar Pranowo tidak diundang dalam pameran foto Marhaen di Semarang. Dan secara implisit, Bambang Muryanto ketua DPP PDIP mempersilahkan, Ganjar Pranowo jika mau dicalonkan partai lain.

Dengan issu Ganjar dan Puan di Pilpres 2024. Secara taktis, pihak oposisi diuntungkan.

- Advertisement -
Share This Article