jfid – Sang Pengembara laut, itulah yang sering dikatakan banyak orang tentang masyarakat Suku Bajau/Sama. Berawal dari kisah kerajaan-kerajaan di dunia pada abad ke-19. Peradaban suku Bajau/Sama telah berkembang menjadi legenda disemua kalangan, mengenai asal-usul dari Suku tersebut.
Mereka pelaut tertangguh di Nusantara. Berabad-abad mengarungi samudera, mereka tersebar di wilayah Segitiga Terumbu Karang di Asia Tenggara yaitu; Malaysia, Filipina, dan Thailand. Madagaskar, Britania raya, Brunei dan Indonesia.
Dalam seminar tentang keragaman genetik bertema “Austronesia Diaspora” yang diadakan Lembaga Eijkman di Jakarta, Rabu (11/3), Phillippe Grange mengungkapkan bahwa sejumlah teori telah diajukan untuk menguraikan asal-usul orang Bajo, tapi belum ada yang memuaskan.
Apakah Suku Bajau/Sama berasal dari Kerajaan Johor/Malaysia atau kepulauan Sulu, Philipina Selatan? Menurut Anna Tsing (1993), biasanya pertanyaan ini adalah awal untuk memulai sebuah etnografi.
Perdebatan antara keduanya sering kali terjadi dikalangan suku Bajau/Sama di Indonesia, juga tulisan-tulisan mengenai asal usul bajau yang tersebar di Wikipedia.
Menurut Grange, pandangan itu dasarnya terlalu lemah. Bahwa adanya cerita legenda tentang Putri Johor. Diceritakan, dahulu Orang Bajo dan orang Bugis banyak mendiami wilayah Johor hingga akhirnya Putri Johor hilang. Orang Bajo diminta untuk mencari sang putri dan tak boleh kembali sebelum menemukan. Di situlah penjelajahan orang Bajo dimulai. Karena tak menemukan, maka orang Bajo pun tak pernah kembali. Memang secara dongeng ada keterkaitan. Tetapi, tidak ada bukti arkeologi atau bahasa yang menunjukkan bahwa orang Bajo berasal dari Johor.
Selanjutnya, jika dikatakan bahwa asal usul suku Bajau/Sama di kepulauan Philipina Selatan? Juga masih lemah secara teori, pasalnya suku bajau yang ada kepulauan sulu cirinya berbeda, yaitu identik dengan kuda, rata-rata suku Bajau pandai berkuda. Mereka dikenal dengan bajau bullut (Bajau Gunung).
Justru penulis lebih cenderung bahwa asal usul suku Bajau/Sama adalah di Nusantara, dengan jumlah populasi terbesar dari Nagara lain sebesar 7 juta jiwa (Ikratul Akbar 2017). Mereka tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa Timur dan wilayah Indonesia bagian timur lainnya.
Asal usul Bajau/Sama Menurut literatur kuno lebih cenderung mengesahkan bahwa berasal dari Nusantara. Prof. Edward H. Schafer (1913-1991) mengutip catatan dari Hui-lin seorang leksikografer Buddhis dari Dinasty Tang pada abad kedelapan dan kesembilan.
“…mereka juga disebut Kurung. Mereka adalah orang-orang barbar di pulau-pulau besar dan kecil, dari Laut Selatan.” Mereka sangat hitam, dan mengekspos sosok telanjang… Mereka unggul ketika mereka masuk ke air, karena mereka dapat tetap di sana sepanjang hari dan tidak mati.”
Ciri-ciri yang disebut Hui-lin terutama pada kemampuan bertahan di dalam air, tentu sangat identik dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang Bajau. Dan rasanya hal ini tak perlu diragukan lagi. Karena faktanya, pada hari ini, kemampuan menyelam yang dimiliki orang Bajau tidak kita temukan dimiliki pula komunitas masyarakat lainnya di belahan manapun planet ini.
Ini dibenarkan dari hasil penelitian oleh Melissa Ilardo, ilmuwan Centre for GeoGenetics di Universitas Kopenhagen. Hasil penelitian itu menyebutkan; “limpa orang-orang Suku Bajau ternyata lebih besar 50% dibanding manusia biasa pada umumnya. Alhasil, produksi oksigen di dalam darah orang Bajo akan lebih banyak karena besarnya ukuran limpa tersebut. Para peneliti juga menyebutkan, keahlian orang Bajo merupakan bentuk dari terjadinya mutasi gen akibat seleksi alam. Hampir seluruh orang Bajo diketahui terlahir dengan perbedaan gen tersebut (Washingtonpost).
Untuk sebutan “kurung” yang dimaksud Hui-lin, kita dapat menduga jika kata itu sangat mungkin terkait dengan kata “ku-lun”, yakni sebutan orang Cina pada masa kuno untuk orang-orang yang berasal dari wilayah Nusantara (baca: aksara Nusantara/morfologi Bahasa).
Jika hipotesis “Gu-lun” sebagai bentuk asal bahasa dari “Ku-lun” sebagai penyebutan pelaut dan pedagang dari laut selatan (nusantara) dapat diterima, selanjutnya kita dapat bergerak lebih maju dengan menimbang bahwa jika sebutan Gu-lun merupakan bentuk transkripsi dari Cina, maka bisa jadi bentuk aslinya adalah “gu-run”.
“Gu-run” dalam naskah kakawin Negarakretagama pada pupuh 14. Menyebutkan Pulau Gurun juga disebut Lombok Merah, yang berada di daerah makmur dalam satu pemerintahan meliputi batayan (bantaeng) dan luwuk (luwu). Maka dapat diduga yang dimaksud “pulau gurun” disini adalah Sulawesi.
Pernyataan ini dapat dikuatkan pula dengan ungkapan “Sumpah palapa” dari Pati Gajah Mada.
“Lamun huwus kalah nusantara insu amukti palapa, lamun kalah ring “Gurun”, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”
“Gurun” dalam sejarah majapahit adalah pulau Sulawesi. Juga kaitannya dengan sumpah pati Gajah Mada menyatukan wilayah nusantara dari timur hingga ke barat. Maka, bahwa letak wilayah “Gu-run” yang disebutkan dalam sumpah Palapa sebagai salah satu wilayah di Nusantara yang ingin disatukan Pati Gajah Mada, pada akhirnya mengantar kita pada titik kesimpulan bahwa; pulau Sulawesi sebagai asal usul orang Bajau/Sama.