Sejarah Tajikistan sangat kaya dan beragam. Negara ini pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Persia, kemudian dikuasai oleh berbagai kekuatan seperti Aleksander Agung, Kekaisaran Mongol, dan akhirnya menjadi bagian dari Uni Soviet sebelum merdeka pada tahun 1991.
Bahasa resmi negara ini adalah Tajik, yang merupakan salah satu dialek bahasa Persia, dan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Larangan hijab di Tajikistan adalah bagian dari serangkaian kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mempromosikan sekularisme dan membatasi pengaruh radikalisme agama.
Kebijakan ini termasuk melarang pemakaian hijab di tempat umum, termasuk sekolah dan kantor pemerintahan. Pemerintah juga mendorong wanita untuk memakai pakaian tradisional Tajikistan daripada hijab atau niqab.
Pada tahun 2017, Kementerian Kebudayaan Tajikistan mengeluarkan peraturan yang melarang pakaian yang dianggap tidak sesuai dengan tradisi Tajik, termasuk hijab.
Dalam sebuah pernyataan, Menteri Kebudayaan Shamsiddin Orumbekzoda mengatakan, “Kami tidak melarang hijab karena alasan agama, tetapi karena ini adalah pakaian yang bukan bagian dari budaya kita. Kita harus melindungi identitas budaya kita.”
Larangan hijab ini telah diberlakukan secara bertahap sejak awal 2010-an, dengan penegakan yang semakin ketat dari tahun ke tahun.
Kebijakan ini diterapkan di seluruh negara, dengan fokus khusus pada pusat-pusat perkotaan seperti ibu kota Dushanbe.
Sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan menjadi tempat utama penegakan aturan ini.
Motivasi utama di balik kebijakan ini adalah kekhawatiran pemerintah terhadap meningkatnya pengaruh radikalisme agama dan upaya untuk mempromosikan identitas nasional sekuler.
Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon, telah berulang kali menyuarakan keprihatinannya tentang ancaman ekstremisme dan pentingnya mempertahankan warisan budaya Tajik yang sekuler.