jfId – Entah sejak kapan ayam jago memiliki nilai budaya di nusantara. Dari berbagai catatan yang ada tentangnya, ia tak semata seekor ayam. Dahulu kala seorang lelaki, apalagi anak keturunan raja ataupun kyai, memiliki hobi untuk memelihara ayam jago. Bahkan ada satu cerita tentang seorang lembu peteng yang terungkap sebagai anak seorang raja karena hobinya memelihara dan menyabung ayam jago.
Secara kebudayaan ayam jago merupakan representasi nilai kejantanan atau keksatriaan. Tak terhitung mulai dari Bali hingga pulau Jawa tak ada yang tak mengenal ayam jago sebagai ayam aduan. Karena itu dapat dipastikan bahwa tradisi ayam jago dan sabung ayam bermula sejak zaman sebelum Majapahit.
Dalam khazanah kejadugan di pesantren masa silam sering seorang putra kyai ataupun santri jadug menyukai jago dan sabung ayam. Selain tanda sebuah kebanggaan, apalagi ketika jago mereka tak terkalahkan, jago dan sabung ayam menjadi wahana untuk mengukur dan membuktikan kejadugan. Sebab seringkali jago-jago aduan mereka tak sekedar seekor ayam sebagaimana biasanya.
Kebudayaan Jawa pada dasarnya mengenal beberapa hal yang diistimewakan karena dianggap memiliki katuranggan atau ciri tertentu yang membedakan satu dan lainnya. Di samping perempuan, yang dipandang memiliki katuranggan adalah ayam jago Jawa. Pada perempuan ciri fisiknya kerap dianggap merepresentasikan karakter dan kualitas diri mereka. Seumpamanya perempuan hitam manis yang dikenal judes, tapi sangat gigih dalam membela keluarganya—apalagi ketika ia bermata sipit yang lazim dianggap pelit. Sementara yang lencir kuning atau kuning semampai dianggap menyukai seks atau tinggi hasrat seksualnya. Adapun yang berkulitputih semu kemerahan sering dianggap sebagai seorang simpanan (WIL) karena karakter kekanak-kanakannya.
Demikian pula pada ayam jago Jawa yang belum bercampur dengan ras ayam dari daerah lainnya, seperti wiring kuning, wiring galih, wido, cemani, ataupun klawu geni. Mereka semua memiliki katuranggan yang membuat berbeda satu dengan lainnya. Di samping faktor yang berhubungan dengan kepercayaan semisal keberuntungan, secara teknis jago-jago itu juga memiliki jeblesan (gaya serang) dan tadhah (daya tahan pukul) yang berlainan satu sama lain. Saya kira gaya tinju seorang fighter, sebelum Muhammad Ali mempopulerkan gaya boxer pada ring tinju, merupakan tipikal pertarungan sabung ayam.
Sampai saat ini masih banyak kita saksikan orang menjemur dengan mengurung ayam jago di halaman depan rumahnya. Dan ketika memiliki seekor ayam jago yang mereka anggap memiliki katuranggan yang jangkep sebuah rasa bangga akan sangat tampak memengaruhi kepercayaan diri sang pemilik. Karena itulah biasanya seorang yang memiliki kegemaran pada ayam jago secara psikologis akan berwatak suka umuk. Barangkali, suasana sabung ayam memang turut membentuk karakter orang yang bersangkutan. Sangat jarang kita temui orang yang suka pada ayam jago aduan dan suka pula mengadunya memiliki karakter yang tak umuk.
Rasa bangga pada seekor ayam jago seturut pula dengan rasa bangga pada kandidat pemimpin tertentu pada dunia politik praktis. Sering karena seorang kandidat pemimpin dianggap memiliki ciri-ciri yang terukur seperti fisik dan aura—atau ules pada ayam jago—yang baik akan menambah kepercayaan diri para botoh-nya. Sehingga ketika ia dipajang di halaman depan rumah tak akan mengecewakan si empunya yang akan membuatnya punya modal untuk umuk.
Tapi seorang kandidat pemimpin bukanlah seekor ayam jago pajangan atau hiasan semata. Mereka adalah seperti juga seekor ayam jago aduan. Karena itulah konon seorang botoh yang empirik memerlukan beberapa kali pertarungan sebelum laik untuk menjadikannya sebuah kelangenan yang membanggakan atau dapat membuat umuk. Umuk pun pada dasarnya tak sekedar suatu sikap yang berkonotasi negatif. Sebab dalam konteks sebuah pertarungan, umuk adalah semacam psywar yang dapat membuat pertarungan itu bermutu dari segi pertaruhan. Maka dapat dipastikan bahwa seandainya sebuah pertarungan berlangsung dengan sangat gaduh adalah karena ramai pertaruhannya.
Berbeda dengan seorang botoh yang empirik, dalam sebuah pertarungan ayam jago, terdapat pula seorang botoh yang karena saking jelinya mengenali ayam, ia tak perlu mengujinya terlebih dahulu pada sebuah pertarungan untuk sekedar menjadikannya sebuah kelangenan. Botoh seperti ini lazim mendasarkan pilihannya pada katuranggan si ayam jago. Sebab satu hal yang pasti, janma tan kena kinira, demikian pula saya kira para jago aduan, yang tak dapat mutlak pula dijadikan patokan. Sebagaimana seekor ayam jago yang dikurung di halaman depan rumah dimana ayam-ayam lainnya perlu mengalah tanpa lelah hanya karena saking cintanya si tuan rumah.
(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)