Perspektif Moral dalam Politik

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
7 Min Read

Mengukur Antusiasme dan Partisipasi Publik Pada Pilkada Serentak 2020

jfID – Di sepotong zaman di mana populisme telah menjadi bagian yang lumrah dari keseharian bangsa Indonesia hari ini terdapat apa yang saya sebut sebagai dua bentuk perspektif dalam mengukur para calon pejabat publik. Kedua bentuk perspektif itu berkaitan dengan moralitas yang berdiri secara diametral: perspektif yang menggunakan standar moral yang tinggi dan perspektif yang menggunakan standar moral yang rendah.

Bagaimana pun, standar moral masih menjadi acuan utama dalam menilai seorang calon pejabat publik. Amerika, yang dikenal sebagai negara liberal par excellence sekali pun, beberapa kali kehidupan politik publiknya didera berbagai isu yang berkaitan dengan moral para pejabat publiknya—skandal Clinton dan Lewinsky seumpamanya.

Dalam konsep civil society, di mana rakyat secara prinsipil sudah dapat memberdayakan dirinya sendiri tanpa campur-tangan pemerintah, standar moral pada akhirnya digunakan oleh mereka untuk menentukan para calon pejabat publik yang dianggap layak. Standar moral yang tinggi acap digunakan oleh kalangan yang secara keagamaan lekat dengan citra puritanisme. Sementara standar moral yang rendah digunakan oleh mereka yang secara popularitas dan finansial terbilang kuat tapi tak memiliki kecakapan intelektual, kinerja dan moral yang secara umum dipandang baik.

Ad image

Dari berbagai tempat yang pernah saya sambangi terdapat beberapa daerah yang tiba-tiba seperti menerapkan berbagai aturan yang terkesan serba membatasi warganya. Hal ini dapat ditengok dari berbagai tulisan yang terpampang di tembok-tembok atau spanduk dan baliho di pinggir-pinggir jalan. Semua ini membuktikan bahwa standar moral memang digunakan oleh publik untuk menilai seseorang.

Seumpamanya yang pernah terjadi di Jogja, yang bahkan sampai harus mendiskriminasikan orang-orang non-muslim untuk tak tinggal di wilayah yang bersangkutan, ataupun tuntutan untuk menurunkan pejabat-pejabat publik yang tak beragama Islam (Sontoloyo, Sempalan, dan Gerakan-Gerakan Kutu Rambut, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org). Di pulau Karimunjawa terdapat pula aturan-aturan yang dapat dibaca di pinggir-pinggir jalan untuk menghormati sistem nilai yang dianut masyarakat setempat (Menyelami Dering Keheningan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Atau di Ponorogo beberapa waktu yang lalu, di mana sampai harus kepolisian menangkap beberapa pelacur di warung-warung kopi gadungan atas laporan masyarakat setempat. Sedikit banyak ini semua membuktikan bahwa standar moral di hari ini menjadi salah satu alat publik untuk mengatur kehidupannya sendiri, termasuk dalam hal menentukan para calon pejabat publiknya.

Ada pula resistensi atas penggunaan standar moral yang tinggi tersebut. Lazimnya, kalangan yang tak begitu peduli pada standar moral memang tak cukup memiliki orang-orang dengan sumber daya manusia yang layak tapi cukup memiliki popularitas dan finansial yang kuat. Pada partai tertentu sistem penjaringan para kadernya biasanya bersifat longgar karena semata mengejar kuantitas. Keberhasilan partai mereka, pada akhirnya, bukan ditentukan oleh SDM dan kiprah seorang calon pejabat publik selama ini. Tapi sejauh mana seorang calon memiliki magnet untuk menggaet sebanyak mungkin simpatisan. Dan tentu saja, di zaman di mana populisme meraja dewasa ini daya magnetik seseorang dapat diciptakan dengan mudah (Kelam Zaman Masyarakat Tontonan, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net). Dalam logika populisme semacam ini kemampuan seseorang bukanlah hal utama yang dijadikan parameter, tapi sejauh mana seseorang itu menciptakan sensasi yang dapat mengusik perhatian publik. Kemampuan, karya dan kinerja dapat dengan mudahnya dikalahkan oleh daya sensasi seseorang. Kalangan yang memilih perspektif moral yang rendah ini memang memanfaatkan populisme yang oleh Tom Nichols ditandai dengan adanya fenomena the death of expert.

Tapi saya kira dinamika yang terjadi di ruang publik tak semata antara perspektif yang memilih standar moral yang tinggi dan perspektif yang memilih standar moral yang rendah. Senantiasa terdapat perspektif alternatif ketika dua pilihan perspektif tersebut sudah mengutub. Berkaca pada pilkada Jawa Timur dua tahun yang lalu, pengutuban dua perspektif yang menggunakan standar moral di atas tak terjadi. Kebetulan, dua kandidat yang bertarung sama-sama tak memiliki “cacat moral” dan kiprah mereka selama ini sudah teruji. Pelaksanaan pilkada pun berlangsung secara tak berlebihan tanpa adanya black campaign seperti fitnah, perendahan-perendahan atau caci-maki, bahkan pun sampai pada tingkat akar-rumput. Publik Jawa Timur saya kira waktu itu sangat berhasil dalam mengolah aspirasi di ruang publik sehingga kegaduhan—yang dalam strategi politik tertentu termasuk alat untuk menggoreng calon masing-masing—nyaris tak ada. Dan publik benar-benar berpartisipasi dalam menentukan kehidupannya dengan jalan memilih para calon pemimpinnya tanpa paksaan. Mereka seolah tak banyak cakap, dan para kandidat tak pula berlebihan dalam berkampanye, tapi publik pada hari yang ditentukan secara sadar diri memilih para calon pemimpinnya.

Adakah civil society di Jawa Timur sudah terbentuk? Sedikit banyak, dengan berkaca pada pilkada dua tahun lalu, dan dalam konteks politik praktis, mereka sudah berdaya. Tanpa kader dan timses yang bergerak secara massif, publik Jawa Timur dapat menunjukkan kedewasaan berpolitiknya. Dengan demikian, saya kira, perspektif alternatif pada nantinya dapat diwujudkan dengan nalar publik yang terjadi di ruang publik (Gus Dur, PKB dan Politik Kaum Sarungan, https://bangkitmedia.com). Akhir-akhir ini perspektif alternatif tersebut sudah mengemuka di ruang publik, di tengah kontestasi antara perspektif yang memilih standar moral yang tinggi, di mana secara keagamaan berkecenderungan puritan, dan perspektif yang memilih standar moral yang rendah yang memiliki kecenderungan nasionalisme minus religiusitas (moral). Harapannya, perspektif alternatif akan dapat meminimalisir kegaduhan yang sudah sangat mengkhawatirkan. Saya kira, di tengah gelombang populisme dewasa ini, perspektif alternatif itu akan menerapkan standar moral yang moderat, tak terlalu tinggi dan ketat hingga terkesan hanya para orang suci yang sanggup menjadi para pejabat publik dan tak pula terlalu rendah hingga seumpamanya seorang pelacur pun diberi ruang untuk mengatur rakyat. Tentu, di samping moralitas, kiprah dan intelektualitas serta kinerja tetap akan menjadi parameter utama untuk menilai seseorang tanpa harus meninggalkan kosmopolitanisme dalam pergaulan.

Share This Article