“Peraturan UKT baru ini hanya berlaku kepada mahasiswa baru. Tidak berlaku untuk mahasiswa yang sudah belajar di perguruan tinggi,” tegas Nadiem. Ia juga menekankan bahwa sistem UKT berjenjang diterapkan untuk menjamin keadilan dan inklusivitas bagi semua mahasiswa.
Anggota DPR mendesak Nadiem untuk segera merevisi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 2 Tahun 2024 yang dianggap membebani mahasiswa dengan kenaikan UKT yang mencapai 300-500 persen.
Mereka menuntut agar pemerintah mempertimbangkan dampak finansial yang dirasakan oleh masyarakat luas.
Protes dari mahasiswa terhadap kenaikan UKT ini tidak hanya terjadi di ruang rapat, tetapi juga di berbagai kampus di seluruh Indonesia. Banyak mahasiswa yang merasa kebijakan ini akan semakin memperlebar kesenjangan akses pendidikan tinggi.
Meskipun Nadiem berusaha menjelaskan dan meluruskan beberapa isu, tekanan dari DPR untuk merevisi kebijakan ini masih kuat.
Anggota DPR menuntut tindakan konkret dari Mendikbud-Ristek untuk memastikan bahwa kebijakan pendidikan tidak memberatkan mahasiswa dan orang tua.
Rapat kerja antara Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim dan Komisi X DPR mencerminkan kompleksitas permasalahan dalam kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia.
Isu kenaikan UKT dan pernyataan mengenai pendidikan tersier memicu kritik tajam dari DPR dan protes dari masyarakat. Dalam upaya untuk menemukan solusi, dialog konstruktif antara pemerintah, legislatif, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan pendidikan tetap adil dan inklusif.