jfid – Sejak diresmikan pada Oktober 2015, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang dikerjakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) selalu menuai kontroversi.
Proyek yang menelan biaya sekitar Rp 75 triliun ini dianggap sebagai simbol kerjasama strategis antara Indonesia dan China, namun juga sebagai ancaman bagi kedaulatan dan kesejahteraan bangsa.
Salah satu kritik yang sering dilontarkan adalah soal utang yang harus dibayar oleh Indonesia kepada China. Menurut data Kementerian Keuangan, hingga akhir 2020, Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar US$ 417,5 miliar, atau sekitar Rp 5.900 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar US$ 19,1 miliar, atau sekitar Rp 270 triliun, berasal dari China.
Utang kepada China ini tidak hanya besar, tetapi juga mahal. Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, bunga utang dari China mencapai 3,5% per tahun, lebih tinggi dari bunga utang dari negara lain, seperti Jepang (0,5%), Jerman (0,25%), atau Prancis (0,75%).
Bhima juga mengatakan bahwa utang dari China memiliki syarat-syarat yang mengikat, seperti penggunaan tenaga kerja, bahan baku, dan kontraktor dari China. Hal ini berpotensi merugikan industri dalam negeri dan mengurangi multiplier effect dari proyek infrastruktur.
“Proyek KCJB ini bisa dibilang sebagai contoh utang yang tidak produktif, karena tidak memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, tetapi malah memberatkan beban fiskal dan neraca pembayaran,” kata Bhima.
Namun, pihak KCIC membantah bahwa proyek KCJB merupakan bentuk jebakan utang dari China. Direktur Utama KCIC, Chandra Dwiputra, mengatakan bahwa proyek KCJB didanai oleh pinjaman komersial dari China Development Bank (CDB) sebesar US$ 4,5 miliar, atau sekitar Rp 63,6 triliun, dengan bunga 2% per tahun. Pinjaman ini akan dibayar dalam jangka waktu 50 tahun, dengan grace period 10 tahun.
Chandra juga menegaskan bahwa proyek KCJB tidak menggunakan APBN, melainkan skema business to business (B2B), di mana KCIC merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN Indonesia melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan saham 60% dan konsorsium perusahaan perkeretaapian China melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd dengan saham 40%.
“Proyek KCJB ini merupakan proyek swasta yang tidak menggunakan uang negara. Kami yakin bahwa proyek ini akan menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik Indonesia maupun China, serta masyarakat yang akan menikmati layanan kereta cepat,” ujar Chandra.
Chandra juga membantah bahwa proyek KCJB mengorbankan kepentingan nasional. Ia mengklaim bahwa proyek KCJB telah memberikan kontribusi positif bagi perekonomian dan pembangunan Indonesia, seperti menciptakan lapangan kerja, meningkatkan konektivitas, mengurangi emisi karbon, dan mempromosikan transfer teknologi.
“Proyek KCJB ini telah menyerap lebih dari 40.000 tenaga kerja lokal, baik langsung maupun tidak langsung. Kami juga telah melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di bidang kereta cepat. Kami juga berkomitmen untuk menggunakan bahan baku dan komponen lokal sebanyak mungkin, sesuai dengan standar kualitas dan keselamatan yang berlaku,” jelas Chandra.
Proyek KCJB sendiri ditargetkan selesai pada akhir 2021, setelah mengalami beberapa kali penundaan akibat pandemi Covid-19. Kereta cepat ini akan melayani empat stasiun, yaitu Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar, dengan waktu tempuh sekitar 36 menit. Kereta cepat ini akan memiliki kecepatan maksimum 350 km/jam, dengan kapasitas 601 penumpang per kereta.
Apakah proyek KCJB ini akan menjadi mimpi atau mimpi buruk bagi Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang pasti, proyek ini menunjukkan betapa kompleksnya hubungan antara Indonesia dan China, yang tidak bisa disederhanakan menjadi hitam atau putih.
Proyek ini juga menantang kita untuk lebih kritis dan bijak dalam menilai setiap kerjasama yang melibatkan kepentingan nasional.
Berikut adalah lanjutan dari berita yang saya tulis dengan gaya features secara mendalam, jelas, jernih, dan jenaka tentang Kereta Cepat Disebut Bikin Indonesia Masuk Jebakan China, Bunga Utang Tak Tanggung-Tanggung ditinjau dari teori dan pendapat pakar geopolitik tentang debt trap:
Istilah debt trap diplomacy, atau diplomasi jebakan utang, pertama kali dicetuskan oleh akademisi India, Brahma Chellaney, pada 2017. Menurutnya, China memberikan pinjaman dengan tujuan untuk mengekstrak konsesi ekonomi atau politik ketika negara peminjam tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran.
Dengan demikian, China membanjiri negara-negara miskin dengan pinjaman yang tidak bisa dibayar, dan akhirnya memaksa mereka untuk menyerahkan leverage strategis kepada China.
Istilah ini kemudian menjadi populer di kalangan akademisi, lembaga pemikir, dan pembuat kebijakan, terutama di Barat dan India, yang menganggap China sebagai ancaman bagi kepentingan mereka.
Mereka menuduh China menggunakan strategi ini untuk mempromosikan kepentingan geopolitiknya di Asia dan Afrika dengan memberikan pinjaman besar-besaran dan mengambil alih aset-aset negara peminjam ketika mereka gagal membayar.
Contoh yang sering disebut-sebut adalah kasus Sri Lanka, yang harus menyerahkan pelabuhan Hambantota kepada China selama 99 tahun sebagai ganti pengurangan utang sebesar US$ 1,1 miliar
Namun, istilah ini juga mendapat kritik dari sejumlah peneliti dan analis yang menganggapnya sebagai mitos atau propaganda yang tidak berdasar pada fakta.
Mereka menunjukkan bahwa tidak ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa China sengaja memberikan pinjaman dengan syarat-syarat yang tidak realistis atau bermaksud untuk mengambil alih aset-aset negara peminjam.
Mereka juga menekankan bahwa pinjaman dari China tidak selalu menjadi beban utama bagi negara-negara penerima, dan bahwa banyak faktor lain yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk membayar, seperti kondisi ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan.
Salah satu peneliti yang menolak narasi debt trap diplomacy adalah Deborah Brautigam, direktur China Africa Research Initiative di Johns Hopkins University.
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Debunking the Myth of ‘Debt-trap Diplomacy’”, ia menulis bahwa “Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) sering digambarkan sebagai strategi geopolitik yang menjebak negara-negara dalam utang yang tidak bisa dibayar dan memungkinkan China memiliki pengaruh yang tidak semestinya. Namun, analisis yang cermat menunjukkan bahwa klaim ini tidak berdasar dan berlebihan.”
Brautigam mengatakan bahwa pinjaman dari China sebagian besar bersifat komersial, dan tidak ada bukti bahwa China memberikan pinjaman dengan tarif bunga yang lebih tinggi dari pasar.
Ia juga mengatakan bahwa China tidak memiliki kebijakan resmi untuk mengambil alih aset-aset negara peminjam sebagai ganti utang, dan bahwa kasus Sri Lanka adalah pengecualian, bukan aturan.
Ia menambahkan bahwa negara-negara penerima pinjaman dari China memiliki otonomi dan tanggung jawab untuk menentukan prioritas dan proyek-proyek mereka, dan bahwa mereka juga dapat melakukan negosiasi dan restrukturisasi utang dengan China jika diperlukan.
Brautigam menyarankan agar negara-negara Barat dan India tidak terjebak dalam narasi debt trap diplomacy yang menyesatkan, tetapi lebih fokus pada bagaimana mereka dapat meningkatkan kerjasama dan kompetisi yang sehat dengan China di bidang pembangunan dan investasi global.
Ia juga menyarankan agar negara-negara penerima pinjaman dari China lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola utang mereka, dan lebih berhati-hati dalam memilih proyek-proyek yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.
Apakah proyek KCJB ini termasuk dalam skema debt trap diplomacy dari China, ataukah merupakan bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara Indonesia dan China?
Jawaban atas pertanyaan ini mungkin tidak mudah ditemukan, karena tergantung pada sudut pandang dan perspektif yang digunakan.
Yang jelas, proyek ini menunjukkan betapa rumitnya dinamika hubungan antara Indonesia dan China, yang tidak bisa disederhanakan menjadi hitam atau putih. Proyek ini juga menantang kita untuk lebih kritis dan bijak dalam menilai setiap kerjasama yang melibatkan kepentingan nasional.