Menyoroti Proyek “Food Estate Jagung” Kalteng: Strategi Pemerintah Atasi Krisis Pangan atau Hanya Wacana

ZAJ By ZAJ - SEO Expert | AI Enthusiast
7 Min Read
Menyoroti Proyek “Food Estate Jagung” Kalteng: Strategi Pemerintah Atasi Krisis Pangan atau Hanya Wacana
Menyoroti Proyek “Food Estate Jagung” Kalteng: Strategi Pemerintah Atasi Krisis Pangan atau Hanya Wacana
- Advertisement -

jfid – Di tengah ancaman krisis pangan akibat pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia menggagas proyek food estate atau lumbung pangan nasional di Kalimantan Tengah.

Proyek ini diharapkan dapat meningkatkan produksi dan ketahanan pangan, sekaligus mempersiapkan diri menyambut rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.

Namun, proyek yang melibatkan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian ini tidak berjalan mulus. Sejak dimulai pada tahun 2020, proyek food estate telah menuai berbagai masalah, mulai dari gagal panen, dugaan penghamburan anggaran, hingga deforestasi.

Salah satu komoditas yang menjadi sorotan adalah jagung. Pada akhir tahun 2023, pemerintah mengklaim telah menanam jagung di lahan food estate seluas 600 hektar di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dengan anggaran sebesar Rp54 miliar.

Ad image

Jagung dipilih karena dianggap lebih cepat dan mudah mendapatkan hasil, serta bisa beradaptasi dengan baik di lahan yang miskin unsur hara.

Namun, aktivis lingkungan dan pengamat pertanian menilai proyek ini dipaksakan demi menutupi kegagalan proyek perkebunan singkong yang mangkrak di tangan Kementerian Pertahanan.

Mereka menemukan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa proyek ini tidak berdasarkan kajian ilmiah, tidak melibatkan masyarakat lokal, dan tidak memperhatikan dampak lingkungan.

BBC News Indonesia, Pantau Gambut, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah melakukan investigasi bersama di lokasi proyek food estate pada Desember 2023.

Mereka mendapati bahwa jagung yang ditanam di lahan food estate sebagian besar menggunakan medium polybag, yaitu kantong plastik berisi tanah yang diberi pupuk dan sekam.

Menurut Direktur Walhi Kalteng, Bayu Herinata, penggunaan polybag menunjukkan bahwa lahan food estate tidak cocok untuk ditanami jagung secara langsung. Ia juga mengatakan bahwa jagung yang ditanam tanpa polybag memiliki pertumbuhan yang tidak baik, dengan daun yang menguning dan umbi yang kecil.

“Jadi ini klaim saja bahwa lahan yang sudah dibuka masih bisa dikelola menjadi food estate, itu kenapa jagung dipilih. Sementara tidak ada kajian apakah daerah setempat perlu jagung atau tidak,” ujar Bayu kepada BBC News Indonesia.

Selain itu, Bayu juga mengkritik pembangunan infrastruktur pertanian yang tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Ia menemukan adanya tandon air berkapasitas 31.000 liter dan jaringan pipa untuk mengairi tanaman.

Namun, ia mengatakan bahwa air di sana sudah cukup tersedia sepanjang tahun, sehingga tidak perlu dibuat tandon dan pipa.

“Kalau mau bikin tandon, seharusnya di tempat yang kering, bukan di tempat yang basah. Ini malah bikin banjir, karena airnya tidak terserap oleh tanah,” kata Bayu.

Bayu juga menyoroti adanya tumpukan tanah yang diduga diambil dari luar kabupaten. Ia menduga bahwa tanah tersebut digunakan untuk menutupi tanah asli yang mayoritas pasir kuarsa dan nyaris nol unsur hara.

“Itu tanah subur ditumpuk di jalan utama, sepertinya belum banyak diaplikasikan ke lahan tanam waktu itu,” kata Bayu.

Sementara itu, Kepala Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian Kalimantan Tengah, Akhmad Hamdan, membela proyek food estate jagung.

Ia mengatakan bahwa proyek ini masih menjadi tanggung jawab Kementerian Pertahanan, sementara Kementerian Pertanian hanya memberikan contoh dan dukungan.

Ia juga mengatakan bahwa proyek ini menggunakan dua metode tanam, yaitu polybag dan larikan. Larikan adalah pengelolaan lahan searah kontur dengan pembuatan gundukan-gundukan tanah berupa undakan dan teras-teras horisontal.

“Tujuannya untuk mencari tahu mana yang lebih efisien dan efektif untuk mengembangkan tanaman jagung di lahan yang miskin unsur hara,” kata Akhmad kepada BBC News Indonesia.

Akhmad mengklaim bahwa pertumbuhan jagung di polybag dan larikan sama-sama subur, dan bahwa jagung tersebut bukan untuk diproduksi atau dipasarkan, melainkan untuk menjadi sumber benih di lahan yang masih kosong.

“Jadi sebagai sumber benih karena nantinya [kebun jagung] ini masih perluasan,” ucapnya.

Namun, pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mempertanyakan perencanaan proyek jagung tersebut. Ia mengatakan bahwa proyek food estate harus memenuhi empat kriteria, yaitu kesesuaian dan kelayakan tanah, infrastruktur, budidaya, dan sosial-ekonomi.

Menurut Andreas, proyek food estate jagung di Kalteng tidak memenuhi kriteria tersebut. Ia mengatakan bahwa tanah di sana tidak sesuai untuk ditanami jagung, karena membutuhkan penambahan unsur hara yang banyak. Ia juga mengatakan bahwa infrastruktur pertanian yang dibangun tidak relevan dengan kebutuhan petani.

Selain itu, Andreas juga mengatakan bahwa budidaya jagung di sana tidak menggunakan teknologi yang tepat, sehingga menghasilkan umbi yang kecil dan pahit. Ia juga mengatakan bahwa proyek ini tidak melibatkan masyarakat lokal, sehingga tidak ada yang mau menggarap lahan tersebut.

“Sebenarnya apapun bisa ditanami, masalahnya berapa investasi yang masuk ke sana dan hasilnya berapa? Kalau hasilnya tidak sesuai dengan biaya produksi ya enggak masuk akal [proyek food estate]. Petani juga enggak ada yang mau menggarap nanti, memang pemerintah mau nanam?” kata Andreas kepada BBC News Indonesia.

Andreas menyarankan agar pemerintah menghentikan proyek food estate yang tidak berdasarkan kajian ilmiah dan partisipasi masyarakat. Ia juga menyarankan agar pemerintah memulihkan kawasan yang dulunya hutan tersebut, karena pembukaan lahan hanya memicu banjir dan kerusakan lingkungan.

“Seharusnya bisa dipulihkan kembali, meski tidak akan seperti semula karena ketika hutan dibuka singkapan tanahnya sudah diangkat. Akan butuh waktu yang panjang tapi dengan teknologi bisa dipulihkan. Ini soal kemauan pemerintah apakah mau untuk melakukan,” kata Andreas.

- Advertisement -
Share This Article