Menuju Masyarakat Akseptan

Tjahjono Widarmanto By Tjahjono Widarmanto
4 Min Read
- Advertisement -

jfID – Akseptan dalam ranah kebudayaan dimaksudkan sebagai sebuah kondisi kemampuan menerima kehadiran individu atau masyarakat lain (liyan) dengan apa adanya tanpa prasyarat bahkan tanpa kadar batasan (Khordabeh dalam Alniezar, 2018). Kondisi mampu menerima pihak lain, yang mungkin berbeda, dengan apa adanya tanpa syarat inilah yang membedakan akseptan dan toleransi. Kondisi akseptan ini yang menjadi penanda kemajuan kebudayaan dan peradaban.

Masyarakat yng akseptan memandang perbedaan atau sesuatu yang asing tidak sebagai sebuah ancaman, namun justru memandang perbedaan itu sebagai salah satu bagian yang ikut menyempurnakan kebudayaan dan peradabannya. Sesuatu yang berbeda tidak lagi dibanding sebagai liyan yang terpisah dari diri mereka, sebaliknya menjadi bagian yang menyempurnakan jatidirinya.

Dibandingkan dengan sikap toleransi, akseptan memiliki derajat penerimaan yang lebih tinggi karena tidak menuntut prasyarat. Toleransi masih mengundang prasyarat melihat perbedaan dan ‘memakluminya’. Memakluminya ini mengandung konsekuensi sikap tertentu dengan kadar jika sesuai dan tidak bertentangan dirinya. Dalam konsep toleransi masih ada jarak antara satu dengan yang lainnya, belum merasa menjadi satu bagian utuh yang saling melengkapi.

Mungkinkah masyarakat yang akseptan bisa terbentuk dan terwujud di Indonesia yang sarat kemajemukan? Masyarakat yang akseptan mungkinkah terwujud dalam masyarakat yang heterogen?

Sebenarnya sejarah kebudayaan sudah mencatat bahwa Nusantara kita pernah mencapai tingkat peradaban masyarakat yang akseptan. Ibnu Khordabeh, seorang sejarawan dan ahli georafi yang hidup pada 849 Masehi di masa dinasti Abbasiyah, dalam kitabnya yang legendaris Al Masalik wal Mamalik memaparkan bukti yang mencengangkan bahwa kerajaan Majapahit sebagai presentasi masyarakat Nusantara telah mempunyai sikap kesantunan, terbuka, keramahan, dan mampu menerima orang lain sebagai bagian dari dirinya. 

Itulah sikap akseptan. Kapal-kapal niaga dari berbagai manca negara yang singgah di syahbandar-syahbandar sepanjang Nusantara diterima dan berinteraksi dengan hangat oleh penduduk lokal. Mereka saling menerima. Penduduk lokal memandang mereka yang liyan (the others), yang ‘asing’, dan dari dunia yang jauh dari kehidupannya, sebagai bagian yang ikut serta saling mengisi dan membentuk jatidiri mereka.

Lalu bagaimanakah saat ini? Kondisi riil kita jelas-jelas menunjukan bahwa kita tidak lagi mampu memandang sesuatu yang berbeda dari kita adalah bagian dari jatidiri. Kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, golongan dan agama telah menjadikan masyarakat kita terpecah belah dan terkotak-kotak, saling curiga dan itimidasi satu dengan yang lain.

Melihat kondisi semacam itu apakah masyarakat yang akseptan hanyalah masyarakat yang utopis belaka?

Masyarakat yang akseptan bisa terwujud dengan langkah-langkah yang harus menyentuh kesadaran diri masyarakat. Upaya riil yang harus dilakukan antara lain dengan melalui ranah pendidikan. Pertama, haruslah segera digagas kurikulum yang mengarusutamakan sikap akseptan. Pendidikan kita harus berbasis ideologi akseptan yang menjadi kerangka kompetensi spiritual dan kompetensi sosial. Kedua, menyusun lagi pendidikan yang berbasis ideologi kebangsaan. Siswa tak cukup memiliki kompetensi spiritual, kompetensi kognitif, kompetensi afektif, namun juga harus secara spesifik memiliki kompetensi kebangsaan. Yang ketiga, di dalam kurikulum yang terwujud dalam pembelajaran harus ada pendekatan deradikalisasi dalam setiap mata pelajaran yang integral dengan pendekatan saintifik.

Melalui ranah pendidikanlah bisa ditata ulang dan dibentuk orientasi menuju masyarakat yang akseptan. Kalau itu bisa terlaksana maka masyarakat yang akseptan yang mau terbuka dan menerima berbagai variasi multikultural.

*) Penulis adalah guru, dosen dan sastrawan yang tinggal di Ngawi.
- Advertisement -
Share This Article