Catatan : Herry Santoso
jfid – Belakangan hari Suku Badui jadi fenomenal, sejak Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Suku Badui saat berpidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2021 di depan DPR/MPR-RI. Kami pernah ke “sarang” Badui tahun 2014. Tujuan kami (waktu itu) mencari ramuan tradisional yang (konon) sangat manjur untuk kanker payudara. Ya, istri saya (waktu itu) mengidap penyakit mematikan dan amat ditakuti kaum hawa itu. Atas informasi seorang keponakan yang kerja di PT Krakatau Stell Cilegon, akhirnya dengan segala cara kami meluncur ke Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, 12 Februari 2014.
SENJA belum begitu menua ketika kami sampai di Kota Rangkasbitung (ibu kota Kabupaten Lebak, Provinsi Banten). Kota mungil yang cantik. Di bawah siraman hujan Februari, taman bunga di depan ‘Rahaya Hotel’ itu tampak kuyup. Sungguhpun cuma level ‘bintang 3’ hotel itu cukup repersentatif. Kamar eksekutif nomor 214 di lantai dua yang kami tempati menginap cukup mewakili manajemen hotel yang sehat. Suhu udara 28 derajad celsius di luar sana cukup hangat dan ramah seramah layanan di hotel itu. Aku segera rebah. Siraman air hangat di kamar mandi pelan namun pasti mengenyahkan rasa penat sekaligus menghadirkan kantuk setelah perjalanan nyaris sehari semalam dari kota Blitar dengan bus. Belum terpikirkan, apa yang akan terjadi esok saat mencari lokasi Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten tempat Suku ‘Badui Dalam’ bermukim.
Kultur Badui Diakui Unesco
BUS ‘Geulis Trans’ keluar terminal Rangkas sekitar pukul 9 pagi. Menembus kesibukan yang mulai menggeliat. Jalan mulus beraspal hotmix mengarah lurus ke Selatan. Di sepanjang perjalanan tampak hamparan sawah yang mulai menguning diselingi perkampungan penduduk yang tampak tenang dan damai. Bus medium bermesin Hino itu berhenti di beberapa kota kecil, dan sesampainya di Kecamatan Bedengpasirkopo penumpang sudah penuh, bahkan di antaranya berdiri. Kini jalanan mulai menanjak dan berkelok-kelok. Suasana Badui mulai kental terasa. Di sepanjang jalan yang kami lalui, banyak orang berjalan kaki dengan tertib laiknya orang berbaris di sisi kanan kiri jalan.
“Kita memasuki kawasan Badui Luar, Boss !” ujar kondektur bus di sela-sela menarik ongkos ke penumpang. Jauh di selatan sana tampak deretan Gunung Belebeg, Gunung Mangurang, dan Gunung Bongkok. Barangkali di balik gemunung itulah perkampungan Badui berada. Jalanan berkelok-kelok dan naik turun serta melalui banyak jembatan. Tampak di setiap bawah jembatan itu mengalir air sungai yang jernih. Suasana alam begitu sejuk di bawah suhu 21 derajad celsius. Bus merangkak di sela-sela lembah meninggalkan raungan dan sisa pembakaran. Di sebelah saya ada sepasang bule yang tengah berbicang dengan bahasa Inggris logat Amerika. Ia menyebut kata Badui, dan Kanekes berkali-kali. Setelah sekitar dua jam perjalanan kami sampai di Terminal Sareweh.
“Ini terminal terakhir, Bapak-Ibu, ” kata sang kondektur memberi tahu. Ya, Desa Kenekes di pedalaman kawasan selatan Rangkasbitung ini memang “go internasional” lantaran tradisi, adat, dan budaya etnik Badui yang mengagungkan lingkungan hidup dan sejak dahulu kala “back to natural”. Bagi orang Badui, habitat alam dan ekosistem adalah bernyawa. Ia sekaligus punya “ruh” seperti makhluk hidup lainnya. Untuk itu kita harus bijak dalam menggunakan dan mengeksploitasi lingkungan hidup untuk kehidupan sehari-hari. Betapa menakjubkan, jika kedapatan seseorang menebang pohon tanpa izin tetua adat maka ia harus diberi sanksi adat yang setimpal, misalnya ketahuan nenebang pohon besar harus menggantinya 100 bibit tumbuhan baru yang sejenis dan ditanam. Semua itu demi keseimbangan ekosistem daerah Badui.
Suku Badui adalah sisa-sisa etnik ‘Sunda Wiwitan’ yang terkenal itu. Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes, mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Wajar jika dalam ilmu pengobatan tradisional Suku Badui sangat ampuh. Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes (Badui Dalam) sendiri cukup unik. Pendapat para ahli sejarah, masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Badui merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, awal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.
Bukan cuma dalam menjaga ekosistem sekaligus dalam laku hidup sehari-hari dikendalikan oleh aturan adat dan keampuhan “japa mantra” warisan leluhurnya. Suku Badui dalam hidup tak tersentuh teknologi kekinian sama sekali dari piranti elektronik maupun perangkat lunak komputasi ataupun digital. Apabila seseorang asli Kanekes kedapatan nembawa ponsel misalnya, maka ia dianggap melaknati adat dan “haram” hukumnya.
Dari yang disebut terakhir, Suku Badui bukan saja menjadi suku yang eksistensinya diakui Unesco sebagai suku “penyelamat lingkungan” dunia, sekaligus jadi destinasi spesial kuktural kuno yang masih bertahan di zaman kekinian. Nah, untuk ke kampung Kanekes Dalam kita tidak boleh senbarangan, harus memenuhi persyaratan. Selain harus mendaftar ke pos penerimaan dengan menuliskan tujuan ke kampung adat, juga meninggalkan tanda pengenal yang berlaku (KTP, SIM). Syarat-syarat lain tidak boleh membawa barang-barang modern semisal ponsel, alat rekaman, atau tustel, dan benda ekektronik lainnya. Salah satu syarat yang agak ribet yaitu mengenakan tanda adat seperti tudung kepala (udheng) bagi laki-laki dan selendang bagi tamu perempuan dan semua itu bisa dibeli di banyak kios di pintu masuk Kanekes.
Setelah kami mendapat perlengkapan itu kemudian diberi tanda pengenal sebagai “tamu” yang dipasang di dada dan berangkat secara berkelompok dipandu oleh petugas (guide). Yang mengejutkan, kami masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 7 km dengan berjalan kaki ! Karena (waktu itu) tujuan kami mencari pengobatan ke seorang peramu jampi-jampi maka sesusah payah apa pun tetap kami lakoni. Ya, seperti sepasang bule dari Boston, Amerika Serikat yang satu bus tadi ternyata juga mencoba pengobatan tradisional ala Badui. Entahlah penyakit apa yang diidapnya.
Akhirnya hari itu juga kami berjalan menyusuri lembah dan bantaran sungai lewat jalan setapak. Dalam keadaan penat ingin rasanya mencebur ke sungai yang berair jernih berkilauan itu. Saking jernihnya, sampai ikan-ikan dan bebatuan di dasarnya tampak jelas. Bahkan beberapa orang sengaja mengambil air itu dan langsung neminumnya tanpa ragu-ragu termasuk pasangan bule tadi.
Mentari sudah tergelincir di kaki langit ketika kami tiba di gerbang Kenekes Dalam. Udara terasa atis dan berkabut tipis. Kami berhenti di gerbang desa itu beberapa saat karena ada persyaratan yang harus kami penuhi : tidak boleh beralas kaki, membawa tas dan mengenakan perhiasan yang cukup mencolok termasuk dompet (uang). Semua bawaan harus dititipkan ke petugas adat.
“Jangan khawatir semua barang berharga Anda tidak akan hilang! ” kata petugas yang sekaligus sebagai penerjemah bahasa Inggris tersebut. Akhirnya kami pun masuk ke perkampungan tradisional yang menakjubkan itu. Rumah-rumah sederhana berdinding gedheg (anyaman bambu) dan beratap rumbia (ilalang) berderet rapi dengan lingkungan yang tertata dan terawat bersih. Kedamaian benar-benar terasa menyembul dari keramah-tamahan warganya yang semuanya mengenakan pakaian adat Sunda Wiwitan : serba hitam.
Untuk khusus yang punya tujuan berobat diantar ke sebuah rumah besar (semacam pendapa). Mengisi formulir (nenuliskan penyakit yang dideritanya) dan memberikan ke petugas untuk menentukan jenis ramuannya. Dalam kami menunggu racikan obat itu diajak ke ruang makan. Kesekian kalinya kami dibuat terkesima. Betapa tidak, aroma nasi yang harum, hangat dan pulen tersedia di bakul bambu sekaligus sayur urap, sambal, dan ikan wader goreng (ikan kecil-kecil mungkin hasil tangkapan dari sungai). Luar biasa kenikmatan yang kami rasakan di saat makan bersama dengan tamu lainnya, menu serba segar, organik, dan baru diambil dari alam itu. Hari mulai petang. Senja jatuh di Kanekes Dalam. Musik alam (nyanyian margasatwa) mulai bersenandung. Rembulan bundar menyembul dari celah bukit. Lebih-lebih ketika melongok keluar, di semua rumah adat itu tampak cahaya lampu pijar (dian) berpendaran. Sungguh paduan pesona alam dan tradisi yang aduhai. Sulit dibayangkan. Kami menginap semalam di Kanekes Dalam dengan ditemani seribu mutiara adat yang masih mengikat. Paginya kami meninggalkan “kampung khayangan” itu setelah menerima sebungkus besar ramuan jampi-jampi untuk 3 bulan plus sebotol madu asli buat penyakit istri saya. Kami lagi-lagi tertegun ternyata semua akomudasi tersebut hanya nembayar seiklasnya, kecuali ramuan jampi dan sebotol madu asli… ***
(Ditulis dari pengalaman berkunjung ke permukiman Suku Badui tahun 2014, Herry Santoso)