Masa Depan Literasi; Masa Depan Bangsa

Tjahjono Widarmanto By Tjahjono Widarmanto
6 Min Read

jfID – Literasi memiliki cakupan makna yang luas dan lebar. Tak berhenti dimaknai sebagai keberaksaraan atau kemampuan baca tulis semata. Demikian luasnya wilayah literasi, maka muncullah berbagai ragam literasi. Ada literasi baca tulis, ada literasi media, ada literasi sains, literasi kultural dan sebagainya.

Agar tak merentang panjang, tulisan ini  membatasi pemahaman literasi sebagai kompetensi keberaksaraan dan keterbacaan. Alasan logisnya, keberaksaraan dan keterbacaanlah yang menjadi dasar dan pintu masuk menuju literasi-literasi lainnya. Tanpa memiliki kemampuan beraksara dan membaca, tak mungkin seseorang bisa meraih kompetensi literasi-literasi lainnya.

Sebagai seorang muslim, saya meyakini bahwa dasar dari keimanan saya adalah “membaca”. Itu berarti, secara teologis, agama Islam meletakkan akal dan nalar sebagai pijakan untuk mengukuhkan iman. Hal ini jelas dan diungkapkan dengan terang-benderang pada ayat pertama, surah pertama, yang memfirmankan perintah membaca! Ini berarti secara eksplisit merupakan pengagungan terhadap eksistensi nalar dan ilmu.

Dalam firman lain dalam surat Al Qalam, ada pesan lain persaksian tentang kalam atau pena yang tak lain merupakan simbol dari “membaca dan menulis”. Lagi-lagi, hal ini menegaskan tempat sangat terhormat bagi penalaran dan pemikiran. Hal itu bermakna pula bahwa membaca dan menulis, keberaksaraan dan keterbacaan adalah laku kewajiban.

Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini dunia dan Indonesia di dalamnya, sedang melaju pada pergerakan perubahan yang cepat dan tak terduga. Tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah dilalui, karena pada realitanya Indonesia bermigrasi secara tiba-tiba dari kondisi yang praliterer melompat menuju pascaliterer. Apalagi tradisi kita awalnya berangkat dari tradisi lisan, kebiasaan oral, atau kelisanan. Bukan berarti kelisanan lebih buruk dari literer. Bahkan tak bisa disangkal bahwa kelisanan telah memberikan sumbangan dalam melakukan transformasi nilai dan karakter. Namun, kelisanan punya keterbatasan yaitu tak mampu mendokumentasikan dan terhalang keterbatasan ruang untuk merawat segala transformasi nilai atau ingatan dari transformasi nilai itu. Akibatnya transformasi itu terputus, sedang di sisi lain, transformasi-transformasi lainnya harus terus berjalan. Tugas tradisi literasilah yang mendokumentasikan sekaligus melanjutkan proses transformasi yang sudah dilakukan tradisi lisan.

Celakanya, saat kita belum selesai dalam kelisanan, pun belum memasuki tradisi tulisan (aksara) dengan serius, baru sebatas bebas buta aksara, datanglah taufan kelisanan kedua dengan diawali dengan kehadiran telivisi dan dilanjutkan gempuran internet, youtube, dan sebagainya. Melalui televisi, internet, youtube dan sejenisnya, datanglah sihir-sihir sinetron dengan wajah-wajah rupawan, film-film romantisme yang dangkal, tayangan hantu-hantu, klenik dan mistik yang ajaib dan konyol, kuis-kuis yang tak memberikan ruang bagi kecerdasan, gosip-gosip genit dan murahan yang dietalasekan dengan mewah, berita-berita hoax yang menjadi mantera dan diamini khalayak.

Lalu dimanakah ada kamar baca dan buku-buku yang tersisa di ruang-ruang rumah kita? Lantas adakah sisa waktu untuk membaca buku di antara kesibukan berselfi? Adakah waktu yang memberi kesempatan pada otak dan jari untuk menulis?

Buku tiba-tiba telah menjadi sejenis mahluk langka yang lebih asing dibanding kadal dan biawak. Celakanya, tak banyak usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal untuk itu. Tak ada perpustakaan di rumah. Di kota-kota perpustakaan seperti kuburan gelap yang menakutkan. Di sekolah-sekolah perpustakaan hanya menjadi tempat kencan dan pacaran. Para pengelola perpustakaan hidupnya asing dengan buku.

 Gedung-gedung sekolah megah dan gagah tapi perpustakaannya kecil dan koleksi bukunya hanya sekedar. Siswa-siswa malas membaca buku, hanya pintar mencari data sepotong-sepotong dari mbah google lalu ramai-ramai mencopy paste tanpa menalar, menelaah dan mengkritisi data. Guru-gurunya pun setali tiga uang, memiliki rumah-rumah besar, mempunayai mobil-mobil mewah, namun tak punya perpustakaan pribadi, tak mau menyisihkan secara rutin dana untuk membeli buku sehingga hanya bangga dan takjub dengan buku-buku jadul yang jumlahnya tak lebih dari bilangan jari. Malas menulis tapi ajeg naik pangkat melalui manipulasi-manipulasi tulisan.

Dunia literasi, jagat literer, dunia teks adalah jagat pemikiran. Sebuah teks tak  berhenti  menjadi teks semata. Teks tak akan pernah final. Setiap teks akan melahirkan rangsangan-rangsangan pemikiran. Sebuah teks hanyalah sebuah halte yang akan berlanjut menuju halte-halte lain, berlanjut ke teks-teks lain.

Ketika kita mengingkari dan menjauh dari dunia literasi, maka kita pun menjauhi dunia pemikiran. Semakin jauh kita dari dunia pemikiran, maka kita akan menjadi bangsa yang anonim, bangsa yang dikenal, bangsa yang tak diperhitungkan, bangsa yang hampa dengan gagasan-gagasan.

Melalui bukunya yang cemerlang berjudul Dream World and Catrastorphe (2003), Susan Buck Morss, menegaskan peran sangat penting aksara dalam membentuk peradaban. Melalui literasi bisa dikukuhkan identitas peradaban sebuah bangsa. Semakin sebuah bangsa jauh dari literasi, semakin kabur identitasnya sebagai bangsa****

Penulis adalah guru, sastrawan dan mahasiswa S3 Unesa yang tinggal di Ngawi

Share This Article