jfid – “Mana keadilan itu?” tanya seorang anak di depan pengadilan. Wajahnya tak lagi merah marah, tetapi pucat pasrah, seakan sudah bosan mempertanyakan yang tak kunjung datang. Pertanyaannya bukan sekadar ekspresi personal. Ia adalah gema dari pertanyaan yang entah sejak kapan kita teriakkan bersama: Mana?
Di setiap sudut kehidupan kita, pertanyaan ini berbisik, meneror, bahkan mengabur dalam kesunyian. “Mana” yang tak terjawab bersemayam di balik janji demokrasi, menggantung di atas etika media, menyelinap di antara ritual agama, bahkan merayap di dalam ruang kelas, rumah ibadah, dan ruang keluarga. Pertanyaannya tak pernah sederhana. Ia seperti abu yang mengendap di dasar cangkir kopi pagi hari, meninggalkan jejak samar yang hanya terlihat setelah minuman itu tandas.
“Mana” dalam Demokrasi: Kebenaran atau Kepentingan?
Demokrasi kita berjalan, meskipun pincang dan terseok-seok. Namun, bukankah demokrasi adalah janji paling manis yang dijual politik modern? Demokrasi menyuarakan kebebasan, tapi juga membuat kita terjebak pada definisi-definisi yang absurd. Di saat kita berteriak tentang keadilan, siapa yang mendengar? Mana sistem yang benar-benar peduli pada rakyatnya? Seperti yang dikatakan Plato dalam Republic, “demokrasi bisa jadi adalah ilusi yang dipalsukan, janji kosong yang ditanamkan demi kepentingan penguasa.”
Kenyataan di Indonesia memperlihatkan ironi. Demokrasi menjanjikan kebebasan berpendapat, tetapi siapa yang sebenarnya berhak bicara? Laporan dari Freedom House tahun 2023 menunjukkan bahwa Indonesia hanya berada pada kategori “sebagian bebas”. Di sinilah “mana” demokrasi yang kita harapkan terus menghantui. Rakyat dibombardir oleh janji-janji kampanye yang mendengung manis. Mereka yang dipilih untuk memimpin justru memanfaatkan jabatan mereka, menciptakan oligarki yang tersembunyi di balik panggung demokrasi.
“Mana” dalam demokrasi kita adalah sebuah keraguan kolektif yang tertahan. Rasa putus asa yang mengental seiring makin jauhnya akses terhadap keadilan dan makin rapuhnya suara rakyat. Rasa “mana” ini terasa pahit di setiap bilik pemungutan suara, di setiap janji yang berakhir pada kepentingan segelintir orang.
“Mana” dalam Hukum: Alat Penguasa atau Penjaga Keadilan?
Keadilan adalah mantra suci dalam sistem hukum, tetapi di negeri ini, hukum sering kali berperan sebagai topeng penguasa. Hukum yang ideal adalah pedang yang memotong ketidakadilan tanpa pandang bulu, seperti yang digambarkan Montesquieu dalam The Spirit of the Laws. Namun, hukum di Indonesia sering menjadi instrumen yang digunakan untuk memuluskan kepentingan pihak-pihak tertentu, menancapkan pengaruh kekuasaan di setiap celah undang-undang.
Menurut data Transparency International pada tahun 2022, indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada angka 34 dari 100, menunjukkan bahwa masih banyak sisi gelap dalam birokrasi dan sistem hukum kita. “Mana” dalam hukum kita menjadi tanda tanya besar ketika hukum hanya tegak untuk mereka yang memiliki modal dan kekuasaan. Pengadilan seakan menjadi panggung sandiwara, di mana yang lemah dan miskin sering hanya menjadi tokoh figuran yang dipermainkan alur cerita.
Ketika hukum gagal menjaga kebenaran, siapa yang bisa kita harapkan? Hukum yang seharusnya menjadi pijakan malah beralih menjadi lubang hitam yang menyedot keadilan itu sendiri. Kasus demi kasus penyelewengan hukum dan korupsi membuat “mana” dalam hukum semakin nyaring, menjadi jerit yang nyaris tak terdengar oleh mereka yang berkuasa.
“Mana” dalam Kebudayaan: Antara Autentik dan Asimilasi
Di tengah modernisasi dan globalisasi, kebudayaan kita mengalami pergolakan identitas. Kain tenun, gamelan, bahkan wayang, kini seakan menjadi artefak eksotis yang hanya diingat di balik museum atau dijual kepada turis. Kita kehilangan apa yang dahulu kita anggap sakral dan tradisional, terjebak dalam bayang-bayang homogenitas global. George Ritzer dalam The Globalization of Nothing menyebut kondisi ini sebagai “nothingness”—sebuah kekosongan budaya yang kehilangan makna dan substansi.
Data dari UNESCO menunjukkan bahwa banyak tradisi lokal di Indonesia kini terancam punah. Hanya sedikit dari generasi muda yang mengenal atau memahami adat dan tradisi yang diwariskan nenek moyang. Di sinilah “mana” dalam kebudayaan kita menjadi sebuah refleksi kritis—di mana sebenarnya letak jati diri kita? Mampukah kita menjaga kebudayaan asli tanpa terseret dalam arus homogenitas yang menghapus perbedaan?
Seiring waktu, kebudayaan kita mungkin harus berasimilasi. Namun, ini bukanlah alasan untuk kehilangan identitas. Seperti yang diungkapkan Clifford Geertz, kebudayaan adalah sistem makna yang selalu beradaptasi. Dalam era modern ini, kita bisa saja berasimilasi dengan budaya global, tetapi pertanyaannya adalah bagaimana cara kita memastikan bahwa “mana” dari akar budaya kita tetap hidup, bukan hanya menjadi ornamen tanpa makna?
“Mana” dalam Pendidikan: Tempat Belajar atau Lahan Bisnis?
Pendidikan adalah pilar yang membentuk masa depan sebuah bangsa, tetapi kita dihadapkan pada pendidikan yang lebih berfokus pada penilaian dan sertifikasi, bukan pengetahuan. Pierre Bourdieu, dalam Distinction, menyatakan bahwa pendidikan kerap menjadi alat reproduksi sosial, bukan transformasi. Ketika sekolah dan universitas hanya berfungsi sebagai “pabrik gelar,” kita kehilangan esensi pendidikan yang sebenarnya.
Laporan Bank Dunia pada tahun 2020 menyatakan bahwa sekitar 55% anak di Indonesia tidak memiliki akses penuh terhadap fasilitas pendidikan yang memadai. Sistem pendidikan kita menjadi tumpul ketika hanya melayani mereka yang memiliki uang. Anak-anak miskin tersingkir, dipaksa menerima pendidikan seadanya, sementara pendidikan yang berkualitas seakan menjadi hak eksklusif bagi mereka yang berduit.
Di sinilah “mana” dalam pendidikan muncul sebagai pertanyaan etis dan moral. Pendidikan seharusnya menjadi hak, bukan barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang. Pendidikan yang sejati adalah yang mencerdaskan, yang memberdayakan, bukan yang menjadi komoditas dalam pasar kapitalis.
“Mana” dalam Agama: Spiritualitas atau Formalitas?
Agama, yang semula adalah jalan menuju kedamaian batin, sering kali terjebak dalam pusaran formalitas. Ritual, aturan, dan dogma terkadang membuat kita lupa pada esensi dari keberagamaan itu sendiri. Dalam bukunya The Idea of the Holy, Rudolf Otto menjelaskan bahwa agama yang sejati adalah pengalaman mistis yang melampaui batas-batas formalitas dan ritual.
Namun, di tengah politisasi agama, kita sering kali lebih sibuk pada kulit luar agama daripada makna sejati yang terkandung di dalamnya. Banyak dari kita yang menjadikan agama sebagai identitas formal tanpa menggali substansi spiritual di baliknya. Laporan Pew Research Center menunjukkan bahwa di banyak negara, agama kini lebih sering dijadikan alat politik ketimbang jalan spiritual.
Di sini, “mana” dalam kehidupan beragama kita menjadi renungan mendalam. Apakah kita beragama karena iman, atau sekadar mengikuti formalitas sosial? Agama yang seharusnya menjadi jalan menuju kebijaksanaan justru terjebak dalam kerangka legalistik dan ritualistik. Ketika spiritualitas disingkirkan, agama kehilangan daya hidupnya, menjadi sekadar simbol yang tak memiliki jiwa.
Mana yang Tak Pernah Usai
Pada akhirnya, “mana” adalah pertanyaan yang mungkin tak akan pernah sepenuhnya terjawab. Dalam kehidupan kita yang penuh dengan ambiguitas dan kontradiksi, “mana” menjadi representasi dari pencarian yang abadi, yang mungkin akan selalu menimbulkan rasa tak puas. Namun, bukankah hidup itu sendiri adalah proses pencarian? Bukankah setiap pertanyaan yang tak terjawab menjadi bagian dari keberadaan kita yang paling mendalam?
Seperti kata Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus, pencarian kita mungkin adalah hal yang absurd, seperti Sisyphus yang harus mendorong batu ke puncak hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Namun, dalam absurditas inilah mungkin kita menemukan makna. “Mana” adalah cermin yang memantulkan diri kita, kegelisahan kita, harapan kita, dan kekecewaan kita. Ia adalah napas yang menghidupi perjuangan sehari-hari kita sebagai manusia yang terus mencari, meski tahu tak semua jawaban akan ditemukan.