jf.id – Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan hasil sidang kasasi terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J, yang menimpa empat terdakwa, yaitu Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf. Dalam putusan tersebut, MA menolak kasasi yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa, namun mengubah kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan kepada keempat terdakwa.
Ferdy Sambo, yang sebelumnya divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI), mendapat keringanan hukuman menjadi penjara seumur hidup. Putri Candrawati, istri Ferdy Sambo, yang sebelumnya divonis 20 tahun penjara oleh PN Jaksel dan PT DKI, mendapat pemotongan hukuman menjadi 10 tahun penjara. Sementara itu, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf, yang sebelumnya divonis 15 tahun penjara oleh PN Jaksel dan PT DKI, mendapat pengurangan hukuman menjadi 12 tahun penjara.
Putusan MA tersebut dibacakan oleh Hakim Agung Suhadi bersama empat anggota majelis hakim lainnya, yaitu Suharto, Jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana. Sidang kasasi digelar secara tertutup di Gedung MA pada Selasa (8/8/2023), tanpa kehadiran terdakwa maupun keluarga korban.
Alasan MA Ringankan Hukuman
Dalam putusan kasasi nomor 813 K/Pid/2023 yang dapat diakses melalui laman resmi MA, majelis hakim menyatakan bahwa ada beberapa pertimbangan yang mendasari perubahan kualifikasi tindak pidana dan pidana bagi keempat terdakwa. Pertimbangan tersebut antara lain adalah:
- Adanya unsur kesengajaan yang tidak sepenuhnya terbukti dalam perencanaan pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo. Majelis hakim menilai bahwa Ferdy Sambo tidak memiliki motif kuat untuk membunuh Brigadir J, selain karena dendam karena pernah dipenjara atas laporan Brigadir J terkait kasus narkoba. Majelis hakim juga menilai bahwa Ferdy Sambo tidak memiliki rencana matang untuk melaksanakan pembunuhan tersebut, melainkan hanya mengandalkan kesempatan saat Brigadir J sedang berada di rumah dinasnya.
- Adanya unsur keterlibatan yang tidak sepenuhnya terbukti dalam pelaksanaan pembunuhan Brigadir J oleh Putri Candrawati, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf. Majelis hakim menilai bahwa ketiganya hanya berperan sebagai pembantu atau pelaksana perintah dari Ferdy Sambo, tanpa mengetahui secara pasti tujuan dan akibat dari tindakan mereka. Majelis hakim juga menilai bahwa ketiganya tidak memiliki motif pribadi untuk membunuh Brigadir J, melainkan hanya karena ikut-ikutan atau takut kepada Ferdy Sambo.
- Adanya unsur pengakuan dan penyesalan yang ditunjukkan oleh keempat terdakwa selama persidangan. Majelis hakim menilai bahwa keempat terdakwa telah mengakui kesalahan mereka dan menyatakan penyesalan atas perbuatan mereka. Majelis hakim juga menilai bahwa keempat terdakwa masih memiliki harapan untuk memperbaiki diri dan bertaubat atas dosa mereka.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, majelis hakim memutuskan untuk mengubah kualifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh keempat terdakwa dari Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana menjadi Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, dan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang perusakan sistem elektronik. Majelis hakim juga memutuskan untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan kepada keempat terdakwa sesuai dengan ketentuan pasal-pasal tersebut.
Pro Kontra dan Kritik atas Putusan MA
Putusan MA yang meringankan hukuman Ferdy Sambo dan Putri Candrawati, serta Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf, menuai pro kontra dan kritik dari berbagai pihak.
Keluarga korban kecewa dan tidak terima. Keluarga korban merasa bahwa putusan MA tidak adil dan tidak sesuai dengan fakta persidangan. Keluarga korban menilai bahwa keempat terdakwa telah melakukan pembunuhan berencana dengan cara yang sadis dan keji, serta tidak memberikan kesempatan kepada Brigadir J untuk bertahan hidup. Keluarga korban juga menilai bahwa keempat terdakwa tidak menunjukkan penyesalan yang tulus, melainkan hanya berpura-pura untuk mendapatkan keringanan hukuman. Keluarga korban berencana untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan MA tersebut.
Penuntut umum tidak puas dan akan mengajukan PK. Penuntut umum merasa bahwa putusan MA tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang telah disampaikan oleh jaksa selama persidangan. Penuntut umum menilai bahwa keempat terdakwa telah melakukan pembunuhan berencana dengan motif balas dendam, serta merencanakan dan melaksanakan pembunuhan tersebut secara bersama-sama. Penuntut umum juga menilai bahwa keempat terdakwa tidak pantas mendapatkan keringanan hukuman, karena perbuatan mereka telah menghilangkan nyawa orang lain secara tidak bermoral. Penuntut umum berencana untuk mengajukan PK atas putusan MA tersebut.
Namun, pengamat hukum merasa bahwa putusan MA merupakan hasil dari proses peradilan yang independen dan profesional. Pengamat hukum menilai bahwa majelis hakim MA telah mempertimbangkan semua aspek hukum dan fakta yang ada dalam perkara ini, serta memberikan pertimbangan yang logis dan rasional. Pengamat hukum juga menilai bahwa putusan MA tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana, seperti asas legalitas, asas kesalahan, asas proporsionalitas, dan asas humanisme. Pengamat hukum berharap bahwa putusan MA dapat diterima oleh semua pihak sebagai bagian dari penegakan hukum di Indonesia.
Lain hal dengan aktivis hak asasi manusia. Aktivis hak asasi manusia merasa bahwa putusan MA merupakan langkah maju dalam menghapus praktik hukuman mati di Indonesia. Aktivis hak asasi manusia menilai bahwa hukuman mati adalah hukuman yang tidak manusiawi, tidak efektif, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Aktivis hak asasi manusia juga menilai bahwa putusan MA menunjukkan bahwa ada harapan bagi para terpidana mati untuk mendapatkan kesempatan kedua dalam hidup mereka. Aktivis hak asasi manusia berharap bahwa putusan MA dapat menjadi contoh bagi pengadilan-pengadilan lain dalam menghormati hak hidup setiap orang.