jfid – Pada rokok sebenarnya kita diingatkan untuk tak berpikir “kekanak-kanakan.” Seorang anak-anak lazimnya melihat dunia dan kehidupan secara hitam-putih. Pada orang-orang yang berkecenderungan radikal, logika kanak-kanak ini, ketika tak juga dibungkam oleh kenyataan dan dipermalukan oleh keadaan, akan berujung pada pemutlakan pandangan yang celakanya justru membunuh demokrasi (Melongok dari yang Tak Pokok, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Taruhlah doktrin lama yang mengendap sejak era orde baru sampai hari ini, bahwa militer dan militerisme adalah sesuatu yang menjadi tembok bagi kedewasaan demokrasi dan kuatnya civil society. Entah sejak kapan konsep civil society di Indonesia selalu diartikan harus berhadapan dengan negara (UU Desa dan Radikalisme di Akar Rumput, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Atau barangkali, dalam hal ini, memang terdapat bau kepentingan lain sehingga bukanlah demokrasi, HAM dan civil society yang benar-benar diperjuangkan (Menimbang Efektifitas PSBB, Darurat Kesehatan Masyarakat, dan Kemungkinan Darurat Sipil atas Penanganan Wabah Corona, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Apalagi ketika upaya-upaya wis wani wirang tersebut digaungkan atas nama masyarakat yang berkali-kali hanyalah klaim semata (Atas Nama Jumbleng: Mengulik Politik Wani Wirang di Penghujung Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Beberapa waktu lalu fenomena yang menggelikan tersebut kembali menjadi santapan yang legit. Rizieq Shihab, yang pernah menjadi simbol gerakan perlawanan pada pemerintah yang barangkali menghalangi agenda mereka (Neo-Khawarij, Habib Rizieq, dan Masyarakat Sipil, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.go.id), lagi-lagi membuat ulah dengan jargon-jargon besar, ceramah, dan berbagai ekspresi tekstual yang dirasa dapat mengoyak kebhinekaan. Atas aksi-aksi itu TNI menyikapinya dengan melucuti baliho-baliho yang mengumbar agenda-agenda Rizieq di tanah air.
Yang menggelikan saya adalah reaksi kalangan aktivis yang seperti tertutupi oleh kenyataan yang sebenarnya. Mereka mempertanyakan keterlibatan militer dalam upaya menyikapi seorang Rizieq dan para umatnya. Saya kira para aktivis itu tak bisa move on dari paradigma lama soal militer dan militerisme, hingga seolah apapun yang dilakukan oleh TNI selalu salah. Di sinilah mereka terjangkiti oleh apa yang saya sebut sebagai pemutlakan pandangan yang berujung “masturbasi.”
Kebudayaan yang kita warisi sebenarnya tak asing dengan militer dan militerisme. Bagaimana pun, keksatriaan telah menjadi mode eksistensi kita sebagai orang-orang Nusantara. Saya tak sedang memperbincangkan soal isu dwifungsi ABRI yang telah usang—yang membuat kisah siapa pun yang pernah terlibat di dalamnya laiknya kisah superman dan wonderwoman. Apakah antimiliterisme pada akhirnya harus pula anti terhadap nilai-nilai keksatriaan yang dipersonifikasikan oleh Wrekudara, Janaka, Gandamana, Sumantri, Kumbakarna, Karna, Gadjah Mada, Hang Tuah, Siliwangi, Suromenggala, dst.? Dengan kata lain, haruskah ide besar demokrrasi, HAM, civil society, sosialisme, dst., mencerabut bangsa Indonesia dari akar sejarah dan kulturalnya dimana kebangsaan itu mendapatkan kerangkanya (Kenusantaraan yang Bagai Semar Sang Pakubumi, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id)?
Watak “masturbasif,” berani malu, pamrih lain yang baunya cukup menyengat, adalah beberapa konsekuensi yang mesti dituai karena abai terhadap prinsip dan paradigma autochthony sehingga menyibakkan pola pikir yang kekanak-kanakan, menggeneralisasi, fanatik, dan mudah memberikan judgment. Pada rokok, sekali lagi, orang diingatkan bahwa tujuan mulia belum tentu berakhir mulia sebagaima Seta atau putih yang tak selamanya suci, lurus maupun setia (Hikayat Putih, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)