jfid – Tokyo, kota yang tidak pernah sepi, kini menyimpan cerita pahit mengenai demografi.
Di balik keramaian dan kecanggihan Shibuya, tersembunyi kenyataan kelam; jumlah anak-anak di Jepang terus menurun hingga mencapai titik terendah dalam sejarah.
Fakta ini menjadi lampu merah bagi masa depan ekonomi Jepang, yang dikenal sebagai salah satu kekuatan ekonomi global.
Data terbaru yang dirilis oleh Kementerian Urusan Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang pada awal Mei 2024, menggambarkan penurunan yang memprihatinkan.
Pada tanggal 1 April, jumlah anak berusia 14 tahun ke bawah di Jepang berjumlah hanya 14,01 juta jiwa, turun 330.000 dari tahun sebelumnya.
Ini merupakan penurunan tahunan ke-43 berturut-turut, dan merupakan angka terendah sejak tahun 1950, saat catatan dimulai.
Lebih lanjut, rasio anak-anak terhadap total populasi di Jepang kini hanya 11,3%, jumlah terendah yang pernah ada.
Ini merupakan indikasi bahwa Jepang menghadapi tantangan serius terkait penuaan populasi dan kelahiran yang rendah, yang dapat mempengaruhi tenaga kerja dan menguatkan beban pada sistem kesehatan serta jaminan sosial negara.
Pemerintah Jepang telah mengambil langkah signifikan untuk mengatasi masalah ini.
Pada bulan Desember tahun lalu, telah disetujui pengeluaran sekitar ¥3,6 triliun atau setara dengan Rp 374 triliun untuk membiayai berbagai inisiatif selama tiga tahun mendatang.
Salah satu langkah yang menonjol adalah penanggungan biaya pendidikan tinggi bagi keluarga berpendapatan rendah dan mereka yang memiliki tiga anak atau lebih, mulai dari tahun fiskal 2025.
Namun, meski dengan intervensi pemerintah, situasi demografi Jepang tetap suram. Populasi total telah menurun sejak sekitar 2010, dan ini bukan hanya soal jumlah, tapi juga distribusi geografis.
Misalnya, Tokyo dan Kanagawa adalah satu-satunya prefektur yang masih memiliki lebih dari 1 juta anak, sementara Osaka baru-baru ini turun di bawah angka tersebut untuk pertama kalinya sejak 1970.
Okinawa, Shiga, dan Saga memiliki proporsi anak yang lebih tinggi dibandingkan prefektur lain, namun ini tidak cukup untuk mengimbangi tren menurun di seluruh negeri.
Sementara itu, Akita, Aomori, dan Hokkaido berada di urutan terbawah dalam hal jumlah anak sebagai persentase dari populasi keseluruhan mereka.
Dari perspektif global, Jepang memiliki salah satu tingkat kelahiran terendah di dunia, hanya sedikit lebih baik dari Korea Selatan.
Studi demografi menunjukkan bahwa jika tren ini berlanjut, populasi Jepang diperkirakan akan turun di bawah 100 juta pada tahun 2048, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.
Kedatangan warga negara asing yang bertambah bisa sedikit meredakan situasi, tetapi tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar.
Kenyataan ini mengingatkan kita bahwa Jepang tidak hanya berjuang untuk menjaga posisinya sebagai kekuatan ekonomi global, tetapi juga berupaya keras mempertahankan keseimbangan sosial dan demografisnya.
Krisis ini tidak hanya akan mempengaruhi masa depan ekonomi Jepang, tapi juga struktur sosial dan budaya negara dalam jangka panjang.