jfId– Cantik ataupun jelita barangkali adalah sebuah kualitas yang tak semata bersifat terberi. Dalam estetika kualitas-kualitas itu merupakan bagian dari ide abstrak keindahan. Adakalanya ketika tak mau berpusing dengan pertanyaan mendasar seperti apa itu keindahan, banyak orang akan secepat kilat mengaitkannya dengan masalah selera (the taste). Saya pernah membuktikan bahwa selera pun adalah sebuah bentukan, bukan sesuatu yang terberi (Intertonikalitas: Perihal Awal Sekaligus Akhir Musik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Untuk memecahkan masalah keindahan yang telah menjadi bahan perdebatan sejak bidang estetika lahir saya akan mendekatinya sebagaimana saya pernah mendekati problem identitas (Konstruksi dan Dekonstruksi Identitas, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Saya kira ada dua macam keindahan dimana satu dengan lainnya tak dapat dipisahkan: keindahan obyektif dan keindahan subyektif.
Keindahan obyektif pada dasarnya adalah keindahan subyektif ataupun intersubyektif (persinggungan dari berbagai keindahan subyektif) yang mampu meyakinkan publik. Wacana tentang keindahan senantiasa berkontestasi untuk menjadi pemenang dan kemudian menjadi pemonopoli tafsir atas keindahan. Taruhlah semboyan “black is beauty” yang merupakan wacana tandingan atas konsep keindahan Barat-kolonial yang secara asosiatif selulu mengacu pada keputihan. Karena itulah pada dasarnya estetika dengan sendirinya dan sudah sejak dari sebermulanya adalah politik. Keindahan obyektif, dengan demikian pula, adalah keindahan subyektif ataupun intersubyektif yang memenangkan kontestasi tafsir atas keindahan di ruang publik.
Kosmetik merupakan salah satu warisan budaya tentang percaturan konsep keindahan yang konon sudah bermula sejak 5000 tahun yang lalu. Bangsa Mesir purba sudah tercatat menggunakan celak mata sebagaimana bangsa Sumeria yang menggunakan lipstik sesudahnya. Secara pelahan kosmetik merambah pula pada segala macam ramuan—baik kimia, organik maupun sintetik—untuk wajah dan tubuh.
Seandainya keindahan hanyalah hasil dari kontestasi tafsir atas keindahan, kenapa untuk kemudian dalam sepanjang sejarahnya manusia perlu merias wajah dan tubuhnya? Ketika keindahan pada dasarnya adalah masalah konstruksi yang kemudian menghegemoni, kenapa manusia justru, dalam catatan sejarah, tak ada yang membentuk konsep dan tafsir keindahan manusia tanpa kosmetik?
Saya kira kosmetik sendiri tak dengan sendirinya memiliki hubungan dengan kecantikan yang merupakan bagian dari keindahan manusia. Boleh jadi, ia merupakan bagian dari upaya manusia untuk menyelaraskan diri dengan alam. Pada masyarkat purba, yang masih dapat dijumpai hingga kini pada masyarakat-masyarakat adat, konsep kehidupan mereka adalah selalu bersama dengan alam dan bukannya semata di hadapan atau di dalam alam (Gabah Den Interi: Antara yang Sampah dan yang Bertuah, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Alam, dalam konsep kearifan purba, adalah mitra manusia dalam mencapai titik tertentu dalam kehidupan bersama, dan bukannya sekedar demi kepentingan manusia sebagaimana tolak-ukur modernisme. Karena itulah istilah “kosmetik” merupakan turunan dari istilah Yunani purba “kosmetike tekhne” dan “kosmetikos” atau keterampilan dalam menghias ataupun menata. Baik “kosmetike tekhne” dan “kosmetikos” barasal dari akar kata “kosmos” atau tertib. Dengan demikian, dilihat dari aspek kesejarahan dan filosofis, fungsi utama kosmetik pada dasarnya adalah sebentuk upaya harmonisasi atau penyelarasan mikrokosmos (manusia) dengan makrokosmos (alam) dimana dalam kearifan Jawa dikenal dengan semboyan “hamemayu hayuning rat.” Ketika fungsi dan tujuan ini tercapai, maka secara ideal tercapai pula tujuan kehidupan bersama.
(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)