jfid – Persoalan yang paling rumit menimpa nelayan Lobster: Tangkap dan Budidaya, belum adanya keberpihakan regulasi secara nasional. Implementasi UU No. 7 Tahun 2016 belum maksimal dalam memberi perlindungan. Hal itu, mendorong tidak produktifnya nelayan melakukan penangkapan lobster alam maupun proses budidaya.
Ada banyak kasus yang mesti menjadi perhatian pemerintah, terutama soal justifikasi nelayan Lobster melakukan Ilegal Fishing, Destructive Fishing dan Over Fishing. Sebagaimana banyak UU, Peraturan Pemerintah, RTZWK, hingga Perda yang melarang aktivitas nelayan Lobster.
Kalau pemerintah bekerja dalam upaya perlindungan dan pemberdayaan yang terintegrasi, terkoordinir, dan tepat sasaran sesuai UU No. 7 Tahun 2016 yang mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah menyusun rencana perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Maka, semestinya pemerintah perhatikan amanat UUD 1945 dan UU yang merujuk pada perlindungan nelayan.
Terutama terkait orientasi pemberantasan IUUF yang salah arah, sering menjadi korban nelayan Lobster. Dari tuduhan IUUF hingga transeter penyelundupan. Kalau pemerintah komitmen memberi perlindungan dan pemberdayaan yang telah disusun sesuai UU dan Peraturan lainnya. Mestinya, tidak ada penangkapan dan persekusi kepada nelayan.
Sayangnya, sampai sekarang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam belum terbit baik ditingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Artinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum memberikan secara detail upaya perlindungan. Apalagi, terkoordinasi secara aktif bersama pemerintah daerah. Sama sekali belum dilakukan.
Padahal, UU No. 7 Tahun 2016 memerintahkan pembentukan empat peraturan pelaksana, yaitu peraturan pemerintah tentang pengawasan perencanaan dan pelaksanaan perlindungan dan pemberdayaan, peraturan presiden tentang pemberian subsidi, dan dua peraturan menteri tentang mekanisme perlindungan terhadap risiko dan partisipasi masyarakat dalam perlindungan dan pemberdayaan nelayan.
Jika merujuk pada peraturan yang telah diterbitkan hanya pada level peraturan menteri melalui pelaksana teknis Dirjen Tangkap dan Dirjen PSDKP saja, sedangkan peraturan pemerintah dan peraturan presidennya belum terbentuk untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan terhadap nelayan, petambak dan pembudidaya.
Padahal, regulasi teknis perlindungan merupakan kunci utama dalam perlindungan terhadap kegiatan penangkapan, pembudidaya, dan petambak garam.
Salah satu peraturan menteri yang telah terbit adalah Permen KKP No. 3/PERMEN-KP/2019 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Permen KKP ini mengatur upaya-upaya yang dapat dilakukan masyarakat untuk berkontribusi dalam perlindungan dan pemberdayaan baik pada tahap perencanaan, pelaksanan, pendanaan dan pembiayaan, serta pengawasan.
Pasal 5 Permen KKP No. 3 Tahun 2019 hanya mengatur bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyusunan perencanaan dengan memberikan saran dan masukan serta turut serta dalam musyawarah. Seharusnya dibebankan kewajiban bagi pemerintah untuk melibatkan nelayan sebagai subjek yang dituju dari rencana perlindungan dan pemberdayaan pada tahap penyusunan.
Satu hal penting yang luput dari kontrol masyarakat terhadap pemerintah, adalah: pemerintah daerah tak pernah berkoordinasi dalam memberi perlindungan hukum kepada nelayan sehingga pemerintah abai terhadap hak-hak nelayan. Apalagi dalam pembuatan regulasi tak pernah dilibatkan sama sekali.[]
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)