Ketika Islam Moderat dan Islam Konservatif Bersatu di Pilpres 2024

Ningsih Arini By Ningsih Arini
7 Min Read
- Advertisement -

jfid – Dua wajah yang sama yaitu islam. Islam adalah agama yang memiliki banyak pengikut di Indonesia. Namun, tidak semua umat Islam memiliki pemahaman dan praktik yang sama tentang ajaran agama mereka. Ada beberapa kelompok yang cenderung mengikuti interpretasi yang lebih kaku dan ketat, yang disebut sebagai Islam konservatif. Ada pula kelompok yang lebih fleksibel dan toleran, yang disebut sebagai Islam moderat. Apa perbedaan antara kedua kelompok ini? Bagaimana mereka berinteraksi dan berdampak pada masyarakat dan politik pada negara?

Islam konservatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan paham Islam yang lebih berpegang pada teks-teks suci secara harfiah dan mengabaikan konteks sejarah dan sosial. Kelompok-kelompok Islam konservatif biasanya menolak pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Mereka juga cenderung menganggap kelompok-kelompok lain sebagai sesat atau kafir. Beberapa contoh dari kelompok Islam konservatif adalah Salafi, Wahabi, Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam (FPI).

Islam moderat adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan paham Islam yang lebih mengedepankan rasionalitas, kreativitas, dan humanisme. Kelompok-kelompok Islam moderat biasanya menerima keragaman, partisipasi politik, hak-hak sipil, dan keadilan sosial. Mereka juga cenderung menghormati kelompok-kelompok lain sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk. Beberapa contoh dari kelompok Islam moderat adalah Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan sebagainya.

Perbedaan antara Islam konservatif dan Islam moderat tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga politis. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi polarisasi antara kedua kelompok ini di Indonesia dan Malaysia. Polaritas ini terlihat dalam pemilihan presiden 2019 di Indonesia, di mana pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin didukung oleh kelompok Islam moderat-nasionalis, sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno didukung oleh kelompok Islam konservatif-Islamis. Polaritas ini juga terlihat dalam isu-isu kontroversial seperti penistaan agama, perda syariah, LGBT, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), RUU Permusikan, dan sebagainya.

Ad image

Di Malaysia, polarisasi antara Islam konservatif dan Islam moderat juga terjadi dalam konteks perubahan politik pasca-pemilu 2018, di mana koalisi Pakatan Harapan (PH) berhasil menggulingkan Barisan Nasional (BN) yang berkuasa selama 61 tahun. PH berjanji untuk membawa reformasi demokratis dan inklusif, tetapi menghadapi tantangan dari kelompok-kelompok Islam konservatif yang menuduhnya sebagai pro-kafir, pro-liberal, pro-LGBT, dan anti-Melayu. Isu-isu seperti RUU 355 (RUU untuk meningkatkan hukuman bagi pelanggaran syariah), ICERD (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial), ratifikasi Statuta Roma (Statuta Mahkamah Pidana Internasional), dan lain-lain menjadi ajang pertarungan antara kedua kelompok ini.

Narasumber: Lailatul Fitriyah, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Lailatul Fitriyah adalah seorang dosen dan peneliti di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia memiliki gelar doktor dalam bidang Studi Agama dari University of North Carolina at Chapel Hill, Amerika Serikat. Ia juga pernah menjadi Fulbright Scholar dan bekerja sebagai peneliti tamu di Duke University dan University of Notre Dame. Ia memiliki keahlian dalam bidang studi gender, Islam, dan politik.

Lailatul Fitriyah mengatakan bahwa Islam konservatif dan Islam moderat adalah dua wajah yang berbeda dari agama yang sama. Ia menjelaskan bahwa Islam konservatif cenderung mengutamakan otoritas teks-teks suci dan tradisi, sementara Islam moderat cenderung mengutamakan otoritas akal dan pengalaman. Ia menambahkan bahwa Islam konservatif dan Islam moderat juga memiliki pandangan yang berbeda tentang hubungan antara agama dan negara, agama dan masyarakat, agama dan individu, serta agama dan kelompok-kelompok lain.

Menurut Lailatul Fitriyah, Islam konservatif menginginkan agar negara menerapkan hukum syariah secara total dan eksklusif, sementara Islam moderat menginginkan agar negara menjaga prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan keragaman. Ia juga mengatakan bahwa Islam konservatif menganggap masyarakat sebagai komunitas yang homogen dan harus tunduk pada norma-norma agama, sementara Islam moderat menganggap masyarakat sebagai komunitas yang heterogen dan harus saling menghormati. Selain itu, ia menyatakan bahwa Islam konservatif menganggap individu sebagai subjek yang harus patuh pada otoritas agama, sementara Islam moderat menganggap individu sebagai agen yang harus bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya. Terakhir, ia menyebutkan bahwa Islam konservatif menganggap kelompok-kelompok lain sebagai musuh atau ancaman yang harus dihindari atau dilawan, sementara Islam moderat menganggap kelompok-kelompok lain sebagai mitra atau sahabat yang harus diajak berdialog atau bekerja sama.

Lailatul Fitriyah menilai bahwa perbedaan antara Islam konservatif dan Islam moderat tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga praktis. Ia memberikan beberapa contoh bagaimana perbedaan tersebut mempengaruhi kehidupan sosial dan politik di Indonesia dan Malaysia. Ia mencontohkan bahwa dalam isu penistaan agama, kelompok Islam konservatif menuntut agar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan gubernur DKI Jakarta yang beragama Kristen, dihukum karena dianggap telah menghina al-Qur’an dalam pidatonya pada 2016. Sementara itu, kelompok Islam moderat menolak untuk terprovokasi oleh isu tersebut dan mendukung hak Ahok untuk berbicara sesuai dengan konstitusi. Ia juga mencontohkan bahwa dalam isu RUU 355 di Malaysia, kelompok Islam konservatif mendesak agar parlemen menyetujui RUU tersebut agar hukuman bagi pelanggaran syariah dapat ditingkatkan hingga 30 tahun penjara, 100 ribu ringgit denda, atau 100 kali cambukan. Sementara itu, kelompok Islam moderat menolak RUU tersebut karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip federalisme, konstitusionalisme, dan pluralisme.

Lailatul Fitriyah berharap agar umat Islam di Indonesia dapat lebih memahami dan menghargai perbedaan antara Islam konservatif dan Islam moderat. Ia berpendapat bahwa perbedaan tersebut tidak harus menjadi sumber konflik atau permusuhan, tetapi dapat menjadi sumber dialog atau kerjasama. Ia juga berharap agar umat Islam di negara Indonesia dapat lebih kritis dan reflektif terhadap pemahaman dan praktik mereka tentang menjalankan ibadah.

- Advertisement -
Share This Article