jfid – Armenia dan Azerbaijan adalah dua negara tetangga yang terletak di kawasan Kaukasus, sebuah wilayah yang berbatasan dengan Rusia, Turki, Iran, dan Laut Kaspia.
Kedua negara ini memiliki sejarah panjang dan rumit, terutama terkait dengan wilayah Nagorno-Karabakh, sebuah daerah yang dihuni oleh orang-orang Armenia tetapi secara resmi menjadi bagian dari Azerbaijan.
Konflik antara Armenia dan Azerbaijan sudah berlangsung sejak abad ke-20, ketika kedua negara masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Ketika Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, Armenia dan Azerbaijan memperebutkan kendali atas Nagorno-Karabakh, yang kemudian menyulut perang yang berlangsung hingga tahun 1994. Perang tersebut menewaskan puluhan ribu orang dan mengakibatkan lebih dari satu juta orang mengungsi.
Meskipun perjanjian gencatan senjata telah ditandatangani, ketegangan antara kedua negara tetap tinggi, dan pertempuran sporadis terus terjadi di sepanjang perbatasan.
Pada tahun 2020, konflik memanas kembali, ketika Azerbaijan melancarkan serangan besar-besaran ke Nagorno-Karabakh, dengan bantuan dari sekutunya, Turki.
Serangan tersebut berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Armenia, dan menimbulkan korban jiwa lebih dari 6.500 orang.
Konflik tersebut baru berakhir pada November 2020, ketika Armenia dan Azerbaijan menyetujui perjanjian damai yang disponsori oleh Rusia, yang merupakan pemain kunci di kawasan tersebut.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Armenia harus menyerahkan beberapa wilayah di Nagorno-Karabakh kepada Azerbaijan, dan Rusia akan mengerahkan 2.000 tentara penjaga perdamaian untuk menjaga stabilitas di wilayah tersebut.
Namun, perjanjian damai tersebut tidak menyelesaikan masalah akar dari konflik, yaitu status Nagorno-Karabakh dan nasib penduduknya.
Orang-orang Armenia yang tinggal di Nagorno-Karabakh merasa tidak aman dan tidak diakui oleh Azerbaijan, sementara orang-orang Azerbaijan yang mengungsi dari wilayah tersebut ingin kembali ke tanah air mereka.
Selain itu, ada juga isu-isu lain yang memicu ketidakpercayaan dan permusuhan antara kedua negara, seperti tahanan perang, korban sipil, penghancuran situs budaya, dan klaim teritorial.
Baru-baru ini, pada Februari 2024, Armenia menuduh Azerbaijan merencanakan perang skala penuh terhadap negaranya, setelah terjadi bentrokan di perbatasan yang menewaskan empat tentara Armenia.
Azerbaijan membantah tuduhan tersebut, dan menyalahkan Armenia atas pelanggaran gencatan senjata. Kedua negara saling menuding sebagai pihak yang memulai pertempuran, dan menuntut agar pihak lain menghentikan provokasi.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik dapat meletus kembali, dan melibatkan negara-negara lain yang memiliki kepentingan di kawasan tersebut, seperti Rusia, Turki, Iran, dan Prancis.
Jika hal itu terjadi, dampaknya akan sangat besar, tidak hanya bagi kedua negara yang berseteru, tetapi juga bagi stabilitas dan keamanan regional dan global.
Oleh karena itu, sangat penting bagi Armenia dan Azerbaijan untuk menahan diri, dan menghormati perjanjian damai yang telah disepakati. Selain itu,
juga diperlukan dialog dan mediasi dari pihak-pihak netral, seperti PBB, OSCE, atau Uni Eropa, untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah yang belum terselesaikan, dan menciptakan perdamaian yang langgeng dan adil bagi kedua negara.