Dari Pyongyang ke Moskow: Dua Pemimpin yang Bersatu dalam Perang

Ningsih Arini By Ningsih Arini
7 Min Read

jfid – Kim Jong Un dan Vladimir Putin tampak akrab saat berjabat tangan di bandara Vladivostok, Rusia, pada hari Selasa. Ini adalah kunjungan pertama Kim ke Rusia sejak tahun 2019, dan juga kunjungan luar negeri pertamanya sejak pandemi Covid-19 melanda dunia.

Kedua pemimpin memiliki agenda penting untuk dibahas: kerjasama militer antara Korea Utara dan Rusia dalam perang melawan Ukraina. Menurut seorang pejabat AS yang tidak mau disebutkan namanya, Kim berencana untuk menjual amunisi artileri kepada Rusia, yang mengalami kekurangan persediaan akibat pertempuran sengit di timur Ukraina.

Namun, apa yang mendorong Kim untuk terlibat dalam konflik yang jauh dari wilayahnya? Dan bagaimana dampaknya bagi stabilitas regional dan global?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kami menghubungi beberapa narasumber yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam bidang politik, militer, dan hubungan internasional. Mereka memberikan wawasan mendalam dan sudut pandang yang berbeda tentang keterlibatan Kim Jong Un dalam perang Rusia-Ukraina.

Ad image

Motivasi Kim Jong Un

Dr. Lee Seong-hyon, direktur Pusat Studi Tiongkok di Institut Nasional untuk Kebijakan Unifikasi Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa ada tiga motivasi utama Kim Jong Un untuk mendukung Rusia dalam perang ini.

Pertama, Kim ingin memperkuat hubungan dengan Rusia sebagai sekutu strategisnya melawan AS dan sekutu-sekutunya. “Kim Jong Un tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan Cina sepenuhnya, karena Cina juga memiliki kepentingan sendiri dan tidak mau terlibat terlalu jauh dalam konflik militer dengan Barat. Oleh karena itu, dia mencari mitra lain yang bisa memberinya perlindungan politik dan militer, dan Rusia adalah pilihan yang tepat,” kata Dr. Lee.

Kedua, Kim ingin mendapatkan imbalan ekonomi dari Rusia sebagai ganti bantuan militernya. “Kim Jong Un sangat membutuhkan sumber pendapatan untuk mengatasi krisis ekonomi yang disebabkan oleh sanksi internasional, pandemi Covid-19, dan bencana alam. Dengan menjual amunisi artileri kepada Rusia, dia bisa mendapatkan devisa yang bisa digunakan untuk membeli barang-barang penting seperti makanan, bahan bakar, dan obat-obatan,” ujar Dr. Lee.

Ketiga, Kim ingin menunjukkan kekuatan dan prestise negaranya di panggung dunia. “Kim Jong Un ingin membuktikan bahwa Korea Utara bukan negara terpencil dan lemah, tetapi negara nuklir dan regional yang berpengaruh. Dengan terlibat dalam perang Rusia-Ukraina, dia bisa menunjukkan kemampuan militernya, menantang hegemoni AS, dan meningkatkan citra dirinya sebagai pemimpin yang berani dan karismatik,” tutur Dr. Lee.

Dampak bagi Stabilitas Regional dan Global

Prof. Alexander Cooley, direktur Institut Harriman untuk Studi Rusia, Eurasia, dan Eropa Timur di Universitas Columbia, AS. Ia mengatakan bahwa keterlibatan Kim Jong Un dalam perang Rusia-Ukraina memiliki dampak negatif bagi stabilitas regional dan global.

Pertama, keterlibatan Kim Jong Un meningkatkan eskalasi konflik antara Rusia dan Ukraina, serta antara Rusia dan Barat. “Kim Jong Un memberikan bantuan militer kepada Rusia yang bisa memperpanjang dan memperparah perang di Ukraina. Ini juga bisa memicu reaksi keras dari AS dan sekutu-sekutunya, yang bisa mengambil langkah-langkah balasan seperti meningkatkan sanksi, bantuan militer, dan kehadiran militer di wilayah tersebut,” kata Prof. Cooley.

Kedua, keterlibatan Kim Jong Un mengancam proses denuklirisasi di Semenanjung Korea. “Kim Jong Un menunjukkan bahwa dia tidak tertarik untuk menegosiasikan program nuklir dan rudalnya dengan AS dan Korea Selatan, tetapi malah memperkuat kemampuan militernya dan menjalin aliansi dengan negara-negara yang berseteru dengan Barat. Ini bisa menghambat dialog dan kerjasama antara pihak-pihak yang terlibat dalam isu nuklir Korea Utara, dan meningkatkan risiko konfrontasi dan krisis,” ujar Prof. Cooley.

Ketiga, keterlibatan Kim Jong Un menimbulkan ketidakpastian dan ketegangan di kawasan Asia-Pasifik. “Kim Jong Un menciptakan situasi yang sulit bagi negara-negara tetangganya, terutama Cina, Jepang, dan Korea Selatan, yang harus menyeimbangkan kepentingan dan hubungan mereka dengan Korea Utara, Rusia, dan AS. Ini bisa mempengaruhi stabilitas dan keamanan di kawasan ini, yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi dan geopolitik dunia,” tutur Prof. Cooley.

Arah Perkembangan Isu

Dr. Andrei Lankov, profesor ahli sejarah Korea di Universitas Kookmin, Korea Selatan, dan direktur Korea Risk Group. Ia mengatakan bahwa keterlibatan Kim Jong Un dalam perang Rusia-Ukraina tidak akan berlangsung lama atau berubah menjadi sesuatu yang lebih besar.

Pertama, Dr. Lankov mengatakan bahwa Kim Jong Un tidak akan mengirim pasukan atau senjata nuklirnya ke Ukraina, karena itu akan terlalu berisiko dan tidak realistis. “Kim Jong Un tidak bodoh. Dia tahu bahwa jika dia mengirim pasukan atau senjata nuklirnya ke Ukraina, dia akan mengundang serangan balik dari AS dan sekutu-sekutunya, yang bisa menghancurkan rezimnya. Dia juga tahu bahwa itu akan melanggar perjanjian-perjanjian internasional yang melarang penyebaran senjata nuklir,” kata Dr. Lankov.

Kedua, Dr. Lankov mengatakan bahwa Kim Jong Un hanya akan menjual amunisi artileri kepada Rusia dalam jumlah terbatas dan sementara, karena itu juga memiliki risiko dan batasan. “Kim Jong Un tidak bisa menjual amunisi artileri secara terus-menerus kepada Rusia, karena itu akan menipiskan stoknya sendiri, yang dibutuhkan untuk pertahanan nasionalnya. Dia juga tidak bisa menjual amunisi artileri secara terbuka kepada Rusia, karena itu akan menarik perhatian dan kritik dari komunitas internasional, yang bisa meningkatkan sanksi dan tekanan terhadapnya,” ujar Dr. Lankov.

Ketiga, Dr. Lankov mengatakan bahwa Kim Jong Un akan mencoba untuk menjaga keseimbangan antara Rusia dan Cina sebagai sekutu-sekutunya, serta antara AS dan Korea Selatan sebagai lawan-lawannya. “Kim Jong Un tidak ingin bergantung pada satu negara saja, baik itu Rusia atau Cina, karena itu akan membuatnya rentan terhadap pengaruh atau tekanan dari negara tersebut. Dia juga tidak ingin memutuskan hubungan dengan AS atau Korea Selatan, karena itu akan membuatnya kehilangan peluang untuk bernegosiasi atau berdamai dengan mereka di masa depan,” tutur Dr. Lankov.

Share This Article