jfid – Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja melemparkan koin kontroversialnya ke dalam kolam perdebatan dengan mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa membeli produk yang mendukung Israel adalah perbuatan haram.
Seolah-olah krisis kemanusiaan di Palestina bisa diatasi dengan mematikan televisi dan beralih dari Aqua ke air sumur. Keputusan ini, yang diumumkan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, dengan bangga menunjukkan bahwa MUI memegang teguh prinsip-prinsip keagamaan mereka – atau mungkin hanya sedang mencari sensasi.
Tentu saja, MUI ingin dilihat sebagai pahlawan yang berdiri di barisan terdepan mendukung kemerdekaan Palestina.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah fatwa ini hanya semacam pukulan dada simbolis tanpa pemahaman yang mendalam tentang geopolitik dan ekonomi global?
Mengharamkan Aqua dan Royco mungkin bisa menaikkan moral umat Islam di Indonesia, tetapi apakah ini benar-benar membuat perubahan di tanah yang jauh di Timur Tengah?
Sementara MUI mempertahankan bahwa fatwa ini bertujuan mendukung perjuangan Palestina, saya pun juga bertanya-tanya apakah keputusan ini lebih banyak berkaitan dengan perluasan pangsa pengaruh dan meraih simpati massa.
Sebagai contoh, apakah MUI benar-benar berani mengharamkan penjualan produk-produk kontroversial ini di tempat perbelanjaan yang berlabel Syariah? Sebuah tindakan yang, tanpa diragukan lagi, akan mengejutkan banyak pemilik toko dan pemangku kepentingan ekonomi.
Dalam dunia yang semakin terglobalisasi, di mana rantai pasokan melibatkan banyak negara, fatwa semacam ini menghadapi tantangan implementasi yang monumental.
Apakah MUI benar-benar ingin menggiring umat Islam Indonesia ke dalam era konsumen yang terbelenggu oleh keterbatasan pilihan produk?
Dalam situasi ini, ironi tidak bisa dihindari. Apakah MUI menyadari bahwa beberapa produk yang mereka sebutkan sebagai haram juga memiliki investasi dan kerja sama dengan berbagai negara, termasuk tetapi tidak terbatas pada Israel?
Menyuarakan larangan semacam ini mungkin tampak sebagai tindakan berani, tetapi melihat lebih dalam, dapatkah kita melihat ini sebagai upaya untuk menari di atas panggung moralitas tanpa benar-benar meresapi musiknya?
Jelas, MUI berada di persimpangan di mana pandangan keagamaan bertabrakan dengan realitas ekonomi dan geopolitik.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah MUI akan memilih untuk menjalani perannya sebagai penentu arah moral tanpa melibatkan diri dalam kompleksitas dunia nyata, atau apakah mereka akan membuktikan bahwa fatwa ini bukan hanya pukulan dada retoris?
Hanya waktu yang akan memberikan jawaban, sementara kita menunggu dengan sabar di tengah-tengah pasar yang dipenuhi dengan produk-produk yang mungkin atau mungkin tidak terkait dengan konflik di luar sana.