jf.id – KH. Abdul Wachid Hasyim memberi nama semua anak laki-lakinya dengan nama-nama orang hebat. Dua dari nama puteranya adalah nama panglima perang:
- Abdurrahman al-Dākhil yang akrab dipanggil dengan sebutan Gus Dur. Abdurrahman al-Dākhil adalah nama panglima perang dan pendiri dinasti Umayyah II di Bumi Andalusia. Abdurrahman al-Dakhil dikenal sebagai peletak dasar peradaban Islam di Andalusia (Spanyol dan Portugal). Perjalanannya menaklukkan penguasa Andalusia, Yusuf al-Fihri, dimulai dari pengembaraan ke beberapa negeri Palestina, Mesir dan Afrika Utara, untuk menghindari kejaran Penguasa Bani Abbasiyyah. Setelah menaklukkan Andalusia, Abdurrahman al-Dakhil, tercatat sebagai penggagas berdirinya universitas di Toledo, Sevilla, dan Cordoba. Abdurrahman al-Dakhil juga berjasa dalam menjadikan Cordoba sebagai pusat peradaban Islam.
Perjalanan Abdurrahman al-Dākhil Indonesia, atau Gus Dur bisa dikatakan hampir tidak berbeda dengan al-Dākhil sebelumnya. Gus Dur melakukan pengembaraan ke Mesir dan Irak, dua pusat keilmuan Islam. Gus Dur dimusuhi oleh Rezim Orde Baru, karena manuver-manuver politiknya yang dianggap berpotensi mendelegitimasi Orda Baru di hadapan umat Islam. Dan Gus Dur pernah menjadi Penguasa Indonesia dan meletakkan dasar-dasar demokrasi serta penghargaan terhadap HAM.
- Sholahuddin Wahid, atau yang akrab dipanggil Gus Sholah. Terkadang beliau lebih suka dipanggil dengan sapaan Pak Sholah ketimbang sapaan Gus. Sebagaimana kita tahu nama Sholahuddin diambil dari nama Panglima Perang terkenal dan raja yang adil Sholahuddin al-Ayyubi. Walaupun prestasi al-Ayyubi tidak sementereng al-Dākhil, namun di tangannya kehormatan umat Islam terpelihara dan terjaga. Sultan Sholahuddin al-Ayyubi dikenal sebagai figur raja muslim yang menjunjung tinggi HAM. Itu ditunjukkan dengan keberadaan riwayat kunjungan Sholahuddin kepada musuhnya Raja Richard the Lion Heart, yang sedang sakit. Sholahuddin datang bukan untuk memanfaatkan kelemahan yang dialami Richard. Tapi, ia datang untuk mengobati musuhnya yang sakit.
Jalan hidup Sultan Sholahuddin al-Ayyubi, juga nyaris tidak berbeda dengan Pak Sholah. Jika Gus Dur identik dengan julukan sebagai penakluk kejumudan, Pak Sholah adalah penjaga tradisi identitas kesantrian yang tegas dan santun. Pak Sholah, dikenal sebagai kiai yang unik di lingkungan NU. Unik dikarenakan beliau adalah satu-satunya mungkin kiai NU yang kuliah di ITB dan menjadi anggota Wanadri, sebuah organisasi perkumpulan pecinta alam dan pendaki gunung legendaris. Pak Sholah merupakan pertemuan dua arus tradisi pemikiran; kesantrian dan kekinian. Maka dari itu, gagasan-gagasan manajemen yang beliau tuangkan di Pesantren Tebu Ireng saat ini “agak” berbeda dengan gagasan manajemen pesantren NU pada umumnya.
Kini kedua “panglima besar” kaum santri itu telah kembali ke hadapan Allah. Yang dikenang dari keduanya adalah amal shaleh yang sudah dirasakan umat saat ini. Tentu, bukan hal yang mudah menemukan kembali sosok Abdurrahman al-Dakhil dan Sholahuddin, seperti kedua putera kiai Wahid. Saya curiga, jangan-jangan penempatan nama Wachid di belakang kedua nama kiai kakak beradik itu, hendak menegaskan bahwa model seperti mereka itu hanya ada satu (wahid), tidak ada duanya, atau tidak ada pengulangannya.
Semoga Allah mencurahkan rahmat untuk Kiai Abdurrahman Wachid dan Kiai Sholahuddin Wachid. Dan semoga Allah mengumpulkan keduanya di dalam barisan para shiddiqin dan sholihin. Lahumal fātihah.
Penulis: Bramada Putra Pratama