Demokrasi Tidak Ingin Warganya Pintar

ZAJ
By ZAJ
8 Min Read
Demokrasi Tidak Ingin Warganya Pintar (Ilustrasi)
Demokrasi Tidak Ingin Warganya Pintar (Ilustrasi)

jfid – Demokrasi, sistem pemerintahan yang kita banggakan sebagai puncak evolusi politik manusia, diam-diam menyimpan sebuah rahasia. Anda mungkin pernah mendengar rumor yang beredar:

demokrasi sebenarnya tidak ingin warganya pintar. Mari kita bedah satu per satu bukti yang tersembunyi di balik tirai kebijakan dan realitas sosial.

Mencari Keunggulan dalam Ketidaktahuan

Mengapa Demokrasi Takut pada Warga Pintar?
Pertanyaan ini mungkin terdengar konyol, tetapi mari kita lihat lebih dekat. Jika warga terlalu pintar, mereka akan mulai mempertanyakan segalanya.

Kebijakan pemerintah, janji kampanye, anggaran belanja, dan bahkan sistem demokrasi itu sendiri.

Bayangkan, betapa repotnya jika setiap warga negara tahu bagaimana memverifikasi fakta, menganalisis kebijakan, dan berpikir kritis!

Media
Media adalah alat yang luar biasa untuk membentuk opini publik. Dalam demokrasi modern, kita sering melihat berita yang dikemas sedemikian rupa sehingga lebih mirip dengan hiburan daripada informasi.

Program debat yang lebih mirip pertunjukan gladiator, berita yang lebih banyak mengandalkan sensasi daripada substansi, dan iklan politik yang penuh janji manis tanpa landasan. Semua ini lebih mudah dilakukan jika audiensnya tidak terlalu kritis.

Pendidikan Investasi yang Berbahaya

Pendidikan Itu Mahal, Lebih Baik Dana Dialihkan untuk Lainnya
Pendidikan berkualitas memerlukan investasi besar dalam hal infrastruktur, tenaga pengajar, dan sumber daya.

Daripada menghabiskan dana untuk membangun sekolah dan universitas yang bagus, bukankah lebih baik jika uang tersebut digunakan untuk hal-hal yang lebih “penting”?

Misalnya, proyek pembangunan yang bisa dipamerkan dalam kampanye berikutnya, atau subsidi sementara yang bisa menarik suara.

Sekolah dan Kurikulum yang Membingungkan
Lihat saja kurikulum di banyak negara. Penuh dengan mata pelajaran yang terfragmentasi dan seringkali tidak relevan dengan kebutuhan nyata.

Anak-anak diajari banyak hal, tapi jarang diajari cara berpikir kritis atau memahami dunia di sekitar mereka.

Pelajaran penting tentang kehidupan sering kali terpinggirkan oleh keharusan menghafal fakta-fakta yang bisa dicari dalam hitungan detik di internet.

Populisme

Membangun Kepemimpinan Berdasarkan Sentimen
Populisme adalah cara efektif untuk memobilisasi massa yang tidak terdidik dengan baik.

Pemimpin populis tahu bahwa lebih mudah memancing emosi ketimbang menjelaskan kebijakan yang kompleks.

Dengan mengedepankan retorika yang bombastis dan janji-janji yang manis, mereka bisa menghindari pertanyaan kritis yang sulit dijawab.

Demokrasi yang Sederhana
Siapa yang tidak suka pemilihan umum? Mereka adalah pesta demokrasi di mana warga bisa memilih pemimpin mereka.

Tapi, ironisnya, banyak warga yang memilih berdasarkan karisma dan janji muluk daripada penilaian rasional terhadap kebijakan dan track record kandidat.

Seandainya semua pemilih pintar dan kritis, pesta demokrasi mungkin tidak akan semeriah ini.

Paradoks Pendidikan di Negara-Negara Demokratis

Negara-Negara Nordik
Lihatlah negara-negara seperti Finlandia, Norwegia, dan Swedia. Mereka memiliki sistem pendidikan yang sangat baik, dan warganya sangat terdidik. Apakah mereka demokrasi?

Tentu saja. Tapi ada satu perbedaan besar: mereka menganggap pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Mereka memahami bahwa warga yang terdidik lebih produktif, inovatif, dan mampu berpartisipasi lebih baik dalam demokrasi.

Investasi di Pendidikan?
Di satu sisi, banyak negara mengklaim bahwa pendidikan adalah prioritas. Di sisi lain, anggaran pendidikan sering kali dipotong, dan guru-guru dibayar rendah.

Mengapa? Karena warga yang terdidik dan kritis mungkin akan menuntut lebih banyak transparansi, akuntabilitas, dan kebijakan yang masuk akal. Dan itu, tentu saja, merepotkan.

Teori dan Tokoh

Noam Chomsky
Noam Chomsky, seorang linguis dan filsuf terkenal, sering mengkritik bagaimana media dan sistem pendidikan digunakan untuk mengendalikan opini publik.

Dalam bukunya “Manufacturing Consent,” Chomsky dan Edward S. Herman berargumen bahwa media massa sering kali digunakan untuk memanipulasi dan membentuk persepsi publik sesuai dengan kepentingan elite.

Jika kita hubungkan dengan pendidikan, warga yang kurang terdidik lebih mudah dimanipulasi melalui media.

Plato
Plato, dalam karyanya “Republik,” membahas pentingnya pendidikan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan bijaksana.

Dia percaya bahwa hanya melalui pendidikan yang tepatlah seseorang bisa mencapai potensi penuhnya sebagai warga negara yang bijak.

Ironisnya, jika kita membandingkan dengan kondisi saat ini, kita melihat bagaimana pendidikan yang seharusnya menjadi jalan untuk menciptakan warga negara yang kritis sering kali diabaikan.

John Dewey
John Dewey, seorang filsuf dan pendidik Amerika, berpendapat bahwa pendidikan adalah kunci bagi partisipasi demokratis yang sehat.

Dalam bukunya “Democracy and Education,” Dewey mengemukakan bahwa pendidikan harus membekali individu dengan kemampuan berpikir kritis dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan politik.

Ketika pendidikan tidak diutamakan, demokrasi kehilangan kekuatannya karena warganya tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk membuat keputusan yang informan.

Konspirasi Ketidaktahuan

Nyata atau Khayalan?
Beberapa orang mungkin menyebut ini sebagai teori konspirasi. Apakah benar bahwa ada niat tersembunyi untuk menjaga warga agar tetap tidak terlalu pintar?

Mungkin tidak secara eksplisit. Tetapi struktur dan kebijakan yang ada sering kali menunjukkan bahwa prioritas utama bukanlah mencerdaskan warga.

Ketidaktahuan yang Dibiarkan
Di banyak negara, tingkat literasi mungkin tinggi, tetapi literasi fungsional – kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan informasi dalam kehidupan sehari-hari – masih rendah.

Pendidikan yang seharusnya menjadi jembatan menuju pengetahuan sering kali berubah menjadi rutinitas yang membosankan dan tidak relevan.

Jalan Keluar “Kabur”

Membangun Demokrasi yang Sehat
Warga yang terdidik lebih mampu memahami dan terlibat dalam proses demokrasi. Mereka bisa menilai kebijakan berdasarkan data dan logika, bukan hanya retorika.

Mereka juga lebih cenderung menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemimpin mereka.

Inovasi dan Ekonomi
Negara dengan warga yang terdidik cenderung lebih inovatif. Pendidikan yang baik meningkatkan produktivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini bukan hanya soal angka GDP, tapi juga kualitas hidup secara keseluruhan.

Memerangi Populisme
Populisme tumbuh subur di tanah ketidaktahuan. Dengan meningkatkan pendidikan, warga akan lebih skeptis terhadap janji-janji populis yang tidak realistis dan lebih mungkin mendukung kebijakan yang berbasis bukti.

Kesimpulan

Jadi, apakah demokrasi benar-benar tidak ingin warganya pintar? Nyatanya, banyak elemen dalam sistem demokrasi yang bisa diuntungkan dari warga yang terdidik dan kritis.

Namun, tantangannya adalah bagaimana mengubah prioritas dari kepentingan jangka pendek menuju investasi jangka panjang dalam pendidikan yang berkualitas.

Dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan membangun warga yang kritis dan terdidik, kita sebenarnya memperkuat demokrasi itu sendiri.

Mungkin, pada akhirnya, masalahnya bukan pada sistem demokrasi, tetapi pada bagaimana kita menjalankannya. Dan di situlah letak harapan kita untuk masa depan yang lebih baik.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email faktual2015@gmail.com

Share This Article