Demokrasi dan Pesimisme Politik di TTS

honing alvianto bana By honing alvianto bana
6 Min Read
- Advertisement -

jfid – Beberapa waktu lalu jagat media sosial ramai mengkritisi perihal item pekerjaan jalan Bonleu yang tak muncul dalam dokumen APBD Tahun 2022 di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. (SuaraTTS. Com 01/03/2022) 

Selain itu, pada bulan yang sama kasus pemukulan sopir ambulance oleh wakil bupati kabupaten TTS. (Kompas.com 03/06/2022) 

Kesan singkat saat mendengar dan membaca berbagai komentar tentang berbagai kasus  tersebut adalah aura pesimisme yang ada di masyarakat mengenai kondisi politik TTS belakangan ini. 

Dari hari ke hari, masyarakat kita membaca berita, dan diam-diam berdiskusi tentang berbagai kasus yang sedang terjadi. Satu kesimpulan mereka bahwa politik TTS sangatlah kacau. Pejabat publik setiap hari berubah pendapat. Hari ini A keesokannya B. Bupati dilaporkan ke polisi oleh sejumlah anggota DPRD. Wakil bupati pun dilaporkan ke polisi akibat kasus pemukulan. Belum lagi sejumlah permasalahan di TTS yang belum juga selesai. Pesimisme politik akhirnya tercium harum di udara kabupaten kita. 

Ad image

Pertanyaannya selanjutnya, apakah kita berhak untuk pesimis menanggapi kehidupan politik di daerah kita? Apakah tidak ada sudut pandang yang lain?

Pesimisme Politik 

Pesimisme berakar pada hilangnya kepercayaan dan sulitnya tantangan. Kepercayaan itu lenyap karena pengalaman pengkhianatan, sesuatu yang sudah begitu familiar bagi masyarakat TTS. Sejarah kita penuh dengan pengkhianatan. Mulai dari politik Belanda yang berpura-pura berdagang lalu menjajah, sampai dengan janji-janji para pemangku kepentingan yang berbuih indah namun miskin penerapan nyata.

Pesimisme juga berakar pada besarnya tantangan yang dihadapi, terutama pada era reformasi sekarang ini. Birokasi pemerintahan yang kaku dan miskin inovasi masih membuat masyarakat kita tercekik. Selain itu, perilaku para politikus yang kian hari kian menimbulkan pertanyaan terhadap kredibilitas dan reliabilitas mereka. Dengan situasi seperti itu, harapan masyarakat untuk hidup yang lebih baik seakan  jauh dari genggaman. 

Dalam situasi itu masyarakat kita punya hak sepenuhnya untuk merasa pesimis. Beberapa kalangan sudah tidak lagi peduli dengan kehidupan bersama kita. Yang ada di pikiran mereka hanyalah mencari uang sekedar untuk selamat dari hari ke hari, atau untuk menumpuk kekayaan lebih dan lebih lagi. 

Di tengah iklim pesimisme politik yang begitu mencekik, perilaku pengejaran harta, sebagai pengalihan dari sulitnya membentuk kehidupan bersama yang bermutu, itu tampaknya bisa dimaklumi.

Anarki dan Demokrasi 

Dilihat dengan kaca mata tertentu, kondisi politik kita memang bagaikan anarki. Akan tetapi keadaan sebenarnya tidak selalu seperti itu. Politik yang tampak anarkis tersebut sebenarnya punya nilai positif yang cukup besar, yakni terjadinya perimbangan kekuatan antara berbagai kelompok dominan yang ada. Bagaikan kandang binatang politik kita bagaikan pertarungan antara harimau, singa, dan serigala yang  berlangsung terus menerus.

Dulu hanya ada satu yang berkuasa, entah serigala, entah harimau, atau singa. Salah satu dari mereka menjadi penguasa tunggal. Yang lain tunduk pada yang paling kuat. 

Namun sekarang tidak ada lagi kekuasaan tunggal, karena kekuasaan-kekuasaan yang dominan saling bertarung satu sama lain. Mereka saling mengimbangi dan saling kontrol. Tidak ada lagi Kekuasaan. Yang ada adalah kekuasaan-kekuasaan. 

Tentu saja bentuk kekuasaan-kekuasaan itu tidak simetris. Namun tegangan di antaranya membuat iklim demokrasi di daerah kita menjadi mungkin.

Demokrasi dalam Tegangan 

Teori-teori demokrasi berpijak pada pengandaian, bahwa terjadi perimbangan kekuasaan. Itulah setidaknya yang dirumuskan 

Montesquieu dengan Trias Politica-nya. Di dalam teori itu, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dipisahkan, supaya terjadi kontrol dan perimbangan kekuatan di antara ketiganya. 

Di Indonesia perimbangan kekuatan tidak hanya terjadi di level eksekutif, yudikatif, dan legislatif saja, tetap juga pada kekuatan paradigma yang dominan menguasai masyarakat. Tidak berlebihan jika dikatakan, inti dari demokrasi adalah perimbangan kekuasaan. Dalam arti ini demokrasi selalu berada dalam tegangan. 

Dilihat sekilas kondisi tegangan itu memang tampak seperti kekacauan, sehingga menciptakan pesimisme di masyarakat kita. 

Namun jika dilihat lebih jernih, kekacauan itu sebenarnya adalah hasil pertarungan dan kontrol otomatis dari kekuasaan-kekuasaan yang dominan di daerah kita. 

Untuk sekarang setidaknya kita sedang merasakan perimbangan kekuasaan.  Perimbangan kekuasaan yang tampak seperti anarkis itu masih bisa disebut normal, ketika tidak tergelincir menjadi anarki yang secara langsung melanggar HAM, terutama hak untuk hidup, dan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. 

Untuk itu, mungkin ada baiknya kita sedikit optimis menghadapi gejolak politik di daerah kita, karena itu merupakan langkah awal dari perjuangan demokrasi  yang memang masih sangat muda. Namun setidaknya kita sudah berada di jalur yang tepat.

Honing Alvianto Bana, Lahir di kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di Komunitas Paloli TTS dan Pokja OAT Nausus. 

- Advertisement -
Share This Article