jfid – Pulau Rempang, salah satu pulau di Kepulauan Riau, Indonesia, sedang menghadapi ancaman penggusuran dan relokasi akibat proyek Rempang Eco City. Proyek ini merupakan kerjasama antara Badan Pengusahaan (BP) Batam dengan PT MEG, sebuah perusahaan yang bekerja sama dengan investor asal China.
Proyek ini bertujuan untuk mengubah Pulau Rempang menjadi kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi dengan fasilitas modern dan ramah lingkungan.
Namun, proyek ini juga menimbulkan konflik dengan warga asli Pulau Rempang, yang telah tinggal di sana sejak ratusan tahun lalu. Warga menolak untuk digusur dan direlokasi dari kampung halaman mereka, karena mereka merasa memiliki hak atas tanah dan budaya mereka.
Warga juga mengkhawatirkan dampak proyek ini terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.
Konflik ini telah berlangsung hampir sebulan terakhir. Warga menolak setiap petugas yang akan memasang patok di kampung mereka. Pada Kamis, 7 September 2023, sekitar 1.000 orang personil POLRI, TNI-AL, dan Satpol PP memaksa masuk ke Pulau Rempang untuk mengamankan pemasangan patok proyek tersebut.
Terjadi bentrokan fisik antara ribuan warga yang berdiri di Jembatan IV, satu-satunya jalan darat masuk ke Pulau Rempang, dengan aparat yang bersenjata lengkap. Aparat yang dikordinir oleh Kapolres Barelang memaksa masuk tanpa belas kasihan sama sekali memukul warga, dan menembakkan gas air mata. Sejumlah warga terpaksa dilarikan ke rumah sakit, dan sejumlah lainnya ditangkap dan ditahan di Polres Barelang.
Warga Pulau Rempang tidak menolak investasi, tetapi mereka menolak keras penggusuran dan relokasi dari kampung nenek moyang mereka.
Mereka meminta agar kampung mereka tidak digusur, dan meminta mereka diizinkan tetap tinggal di kampung halaman nenek moyang mereka untuk meneruskan peradaban dan nilai-nilai kehidupan yang selama ratusan tahun melekat pada diri mereka.
Salah satu warga yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa ia tidak mau meninggalkan tanah leluhurnya yang sudah menjadi sumber penghidupan bagi keluarganya.
“Kami sudah hidup di sini sejak nenek moyang kami. Kami bercocok tanam, menangkap ikan, dan menjaga alam. Kami tidak mau pindah ke tempat lain yang asing bagi kami. Kami tidak mau hidup di bawah bayang-bayang pabrik-pabrik dan gedung-gedung tinggi yang mencemari udara dan air,” katanya.
Sementara itu, pihak BP Batam dan PT MEG mengklaim bahwa proyek Rempang Eco City akan memberikan manfaat bagi pembangunan daerah dan nasional.
Mereka mengatakan bahwa proyek ini akan meningkatkan daya saing Indonesia dengan Singapura dan Malaysia, serta menarik investasi asing, khususnya dari China. Mereka juga menjanjikan bahwa proyek ini akan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial, serta memberikan kompensasi yang layak bagi warga yang terkena dampak.
Direktur Utama BP Batam, Budi Santoso, mengatakan bahwa proyek Rempang Eco City adalah bagian dari visi Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Batam sebagai pusat ekonomi digital di Asia Tenggara.
“Proyek ini akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan daerah, dan memperkuat hubungan kerjasama antara Indonesia dan China. Proyek ini juga akan mengembangkan infrastruktur dan fasilitas publik yang modern dan ramah lingkungan, seperti transportasi massal, pembangkit listrik tenaga surya, dan pengolahan limbah,” katanya.
Direktur PT MEG, Li Wei, mengatakan bahwa proyek Rempang Eco City adalah salah satu proyek strategis dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI), sebuah inisiatif yang diluncurkan oleh Presiden China Xi Jinping untuk membangun jaringan perdagangan dan investasi global.
“Proyek ini adalah bukti komitmen kami untuk mendukung pembangunan Indonesia dan meningkatkan kerjasama antara kedua negara. Proyek ini juga akan menghadirkan konsep kota pintar dan hijau yang berbasis teknologi dan inovasi, serta menghormati nilai-nilai budaya dan kearifan lokal,” katanya.
Proyek Rempang Eco City masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Beberapa pihak mendukung proyek ini sebagai peluang untuk memajukan daerah dan nasional, sementara pihak lain menolak proyek ini sebagai ancaman bagi lingkungan dan hak asasi manusia.
Proyek ini juga menimbulkan pertanyaan tentang keterlibatan China dalam urusan dalam negeri Indonesia, serta dampaknya terhadap kedaulatan dan keamanan nasional.