Calon Pemimpin “Drop-Dropan” Vs Pilihan Rakyat

Herry Santoso By Herry Santoso
3 Min Read

jfID – PILKADA Serentak 2020 menumbuhkan berbagai opini publik (publik opinion) bahwa ada kecenderungan wong cilik bukan lagi pemegang kartu kekuasaan malah ditengerai akan kembali menjadi obyek kekuasaan, yaitu suatu kondisi ambang batas demokrasi mengalami degradasi yang identik dengan kemerosotan.

Fenomena tersebut terbukti dengan adanya bakal calon pemimpin (bacalpem) drop-dropan yang ditengarai dilakukan oleh elite partai politik dengan alasan dijagokan oleh DPP maka rakyat “tercengang-cengang” menerima kenyataan kesewenang-wenangan tersebut. Rakyat yang selama ini jadi dermaga demokrasi akan kembali menjadi kaum tertindas dalam tatanan negara demokrasi yang pada gilirannya bisa menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat (mistrust of the people), dan tidak tertutup kemungkinan otorotarian baru dalam suatu rezim pemerintahan.

Demokrasi Lipstik

Ada sebuah fameo yang menyatakan suara rakyat adalah suara Tuhan (the voice of the people the voice of God ) kemungkinan tidak akan terbukti lagi di Pilkada Serentak 2020. Rakyat kembali menjadi “tumbal demokrasi” (sacrifice of democracy) atau kartu mati kekuasaan, padahal sebelumnya kerap dijargonkan bahwa rakyat adalah pemegang kartu kekuasaan yang sah di era demokratisasi Indonesia. Alhasil keberpihakan terhadap wong cilik hanya sebuah lipstik demokrasi (lips democration ).

Ad image

Sebagai contoh kasus, dengan dimunculkannya beberapa keluarga elite kekuasaan menjelang Pilkada Serentak 2020 melalui “drop-dropan” bakal calon dari atas laiknya Bobby Nasution, menantu Jokowi, dipinang oleh Partai Nasdem sebagai bakal calon Wali Kota Medan, Gibran Rakabuming Raka (putra Jokowi) sebagai bakal calon Wali Kota Surakarta, Hanindhito Himawan Pramana, putra Pramono Anung sebagai bakal calon Bupati Kediri, juga Nur Azizah, putri KH. Ma’ruf Amien sebaga calon Wali Kota Tangerang Selatan, dan (mungkin) masih sederet nama “drop-dropan” lagi yang menjadi penumpang kereta demokrasi rakyat. Ini jelas sebagai “malapetaka demokrasi” kita lantaran “mengobok-obok” hak rakyat untuk memilih dan dipilih melalui mekanisme dan proses yang semestinya dari bawah (bottom up).

Pemimpin yang pada hakikatnya manifestasi rakyat, justru terjebak oleh ambisi kekuasaan yang penuh keserakahan dan kenisbian nan pekat. Pemimpin yang digadang-gadang oleh rakyat adalah mereka yang lahir dari rahim rakyat, tetapi tampaknya ada praktik “karbitisasi” dari atas (top down) oleh para elite partai dan elite penguasa.

Sesungguhnya hal tersebut sah-sah saja, karena mereka juga bagian dari rakyat, tetapi secara etika dan estetika politik kurang kualified lantaran (seolah-olah) ada “jalur tol” dari kaum elite. Inilah yang semakin menegasi bahwa “kekuasaan adalah korup” laiknya proposisi seorang Lord Acton, dan dalam keserakahan kekuasaan akan menumbuhkan kesengsaraan rakyat lantaran rakyat hanya akan kebagian “remah-remah kekuasaan” dan doktrin demokrasi “kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” hanya akan menjadi kalungan puisi indah tanpa kenyataan”. Duh….

Share This Article