jfid – Presiden Amerika Serikat Joe Biden menghadapi kritik dari sejumlah anggota Kongres AS yang menilai bahwa serangan udara yang ia perintahkan ke Yaman pada Jumat (12/1/2024) melanggar konstitusi.
Serangan tersebut dilakukan bersama dengan Inggris sebagai balasan atas aksi pasukan Houthi yang menyerang pelayaran di Laut Merah.
Namun, para ahli hukum dan keamanan mengatakan bahwa Biden memiliki dasar hukum yang cukup untuk melakukan tindakan militer tersebut, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam konstitusi dan undang-undang AS. Mereka juga menekankan bahwa tanggapan jangka panjang akan tergantung pada perkembangan situasi di lapangan.
Konstitusi AS: Kongres atau Presiden?
Salah satu argumen yang digunakan oleh para kritikus Biden adalah bahwa Pasal 1 Konstitusi AS memberikan kewenangan kepada Kongres untuk mengesahkan perang, bukan presiden.
Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu mekanisme pengawasan dan keseimbangan dalam sistem politik AS.
Namun, argumen ini tidak begitu kuat, karena Pasal 2 Konstitusi juga menetapkan presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata dan memberinya hak untuk menggunakan kekuatan militer tanpa otorisasi kongres untuk tujuan pertahanan.
Dalam hal ini, Biden dapat berdalih bahwa serangan ke Yaman adalah untuk melindungi kepentingan AS yang terancam oleh serangan Houthi terhadap pangkalan AS di Irak dan Suriah dan kapal-kapal komersial di Laut Merah.
UU Kewenangan Perang: Batasan atau Fleksibilitas?
Selain konstitusi, penggunaan kekuatan militer oleh presiden juga diatur oleh Resolusi Kekuatan Perang, yang disahkan Kongres pada 1973 setelah Perang Vietnam.
Resolusi ini bertujuan untuk mengendalikan kekuasaan perang presiden dengan mengharuskan tindakan militer tanpa deklarasi perang atau otoritas hukum khusus untuk dihentikan dalam waktu 60 hari.
Resolusi ini juga mengharuskan presiden untuk memberi laporan kepada Kongres dalam waktu 48 jam setelah serangan.
Namun, resolusi ini juga memberi fleksibilitas kepada presiden untuk melakukan tindakan militer secara terbatas tanpa persetujuan Kongres, asalkan ia memberi informasi yang cukup kepada Kongres.
Inilah yang dilakukan Biden dengan menginformasikan Kongres tentang serangan ke Yaman, namun tidak meminta izin mereka.
Preseden dan Prospek: Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Biden bukanlah presiden pertama yang melakukan serangan militer tanpa persetujuan Kongres.
Presiden sebelumnya, baik dari Partai Demokrat maupun Republikan, juga pernah melakukan hal serupa, seperti Donald Trump yang membunuh komandan militer Iran Qassem Soleimani di Irak pada 2020 dan Barack Obama yang mengizinkan serangan udara ke Libya pada 2011.
Namun, tindakan-tindakan tersebut juga mendapat kritik dan protes dari Kongres, yang merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Kongres bahkan pernah meloloskan resolusi untuk membatasi kekuasaan perang presiden, namun dibatalkan oleh veto presiden.
Para ahli mengatakan bahwa reaksi Kongres terhadap serangan Biden ke Yaman akan bergantung pada apa yang terjadi di lapangan.
Jika konflik dengan Houthi tidak meningkat dan pemerintah AS terus berkomunikasi dengan Kongres, dampaknya akan lebih kecil.
Namun, jika ada eskalasi lebih lanjut, Kongres mungkin akan menuntut suara yang lebih besar dalam kebijakan luar negeri AS.