jfid – Mulai 1 Juli 2024, bagi mereka yang ingin membuat atau memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM) di Indonesia, memiliki BPJS Kesehatan aktif menjadi syarat wajib.
Peraturan ini, yang diuji coba di tujuh provinsi, disambut dengan berbagai reaksi dari masyarakat.
Sebagian menganggapnya sebagai langkah maju untuk memastikan seluruh penduduk memiliki jaminan kesehatan, sementara yang lain melihatnya sebagai beban tambahan yang memberatkan.
Jokowi dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022
Keputusan ini berakar dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022, di mana Presiden Joko Widodo meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menjadikan BPJS Kesehatan sebagai syarat dalam pengurusan SIM, STNK, dan SKCK.
Tujuannya jelas: memperluas cakupan peserta BPJS Kesehatan di seluruh negeri.
“Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia harus memastikan pemohon SIM, STNK, dan SKCK adalah peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional,” demikian perintah dalam inpres tersebut.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Bagaimana reaksi masyarakat dan apa implikasi kebijakan ini?
Uji Coba di Tujuh Provinsi
Kombes Pol Heru Sutopo, Kasubdit SIM, menjelaskan bahwa uji coba dilakukan di daerah dengan cakupan kepesertaan JKN yang sudah tinggi, seperti Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
“Kami memilih daerah-daerah yang cakupan kepesertaan JKN-nya sudah tinggi di atas 95 persen.
Sehingga hampir seluruh penduduk di wilayah tersebut sudah menjadi peserta JKN,” ujarnya kepada Kompas.com pada Selasa (4/6/2024).
Mengurai Manfaat dan Tantangan
Kebijakan ini tidak hanya tentang kesehatan, tetapi juga tentang kepatuhan administrasi.
Dengan mensyaratkan BPJS Kesehatan aktif, pemerintah berusaha memastikan bahwa masyarakat mendapatkan akses ke layanan kesehatan yang memadai.
Namun, bagaimana penerapannya di lapangan?
Menurut data BPJS Kesehatan per akhir 2023, cakupan kepesertaan mencapai 88 persen dari total populasi.
Meski angka ini menunjukkan kemajuan, masih ada 12 persen atau sekitar 30 juta penduduk yang belum terdaftar.
Bagi mereka, kebijakan ini bisa menjadi dorongan atau justru hambatan dalam mengurus SIM.
Ratna, seorang ibu rumah tangga di Jakarta, mengungkapkan kegelisahannya.
“Saya paham pentingnya BPJS Kesehatan, tetapi mengurusnya tidak selalu mudah.
Apalagi jika harus membayar iuran rutin di tengah biaya hidup yang semakin tinggi,” katanya.
Kritik dan Saran
Tidak sedikit yang mengkritik kebijakan ini sebagai bentuk pemaksaan.
“Mewajibkan BPJS Kesehatan untuk pengurusan SIM seolah-olah mengesampingkan hak warga untuk memilih,” ujar Heri Setiawan, seorang aktivis hak konsumen.
Ia menambahkan bahwa seharusnya pemerintah lebih fokus pada perbaikan layanan dan sosialisasi manfaat BPJS Kesehatan.
Sebaliknya, beberapa ahli kesehatan masyarakat justru mendukung kebijakan ini.
Dr. Yuniarti, seorang pakar kesehatan masyarakat, menyatakan bahwa kebijakan ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Dengan adanya BPJS, masyarakat tidak perlu khawatir dengan biaya kesehatan yang tinggi.
Ini adalah investasi jangka panjang yang penting,” jelasnya.
Efek Domino pada Layanan Publik
Mengaitkan BPJS Kesehatan dengan SIM juga bisa berdampak pada layanan publik lainnya.
Jika kebijakan ini berhasil, bukan tidak mungkin syarat serupa akan diterapkan pada layanan lain, seperti pengurusan KTP, akta kelahiran, atau bahkan pelayanan di sektor swasta.
Namun, efektivitas kebijakan ini sangat tergantung pada pelaksanaan di lapangan.
Jika prosedur administrasi BPJS Kesehatan tidak dibenahi, justru akan menambah panjang antrean dan waktu yang dibutuhkan masyarakat untuk mendapatkan SIM.
Korlantas Polri bersama BPJS Kesehatan harus memastikan integrasi sistem berjalan lancar dan tidak membebani masyarakat.
Kesimpulan: Kebijakan dengan Banyak Wajah
Kebijakan Pemerintah mewajibkan BPJS Kesehatan untuk pengurusan SIM adalah langkah berani yang bertujuan baik, tetapi implementasinya memerlukan perhatian khusus.
Ada potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan dan cakupan jaminan kesehatan nasional, namun di sisi lain, ada risiko menambah beban administrasi bagi masyarakat.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini akan sangat tergantung pada kesiapan infrastruktur dan sosialisasi yang efektif.
Pemerintah perlu mendengarkan kritik dan saran dari berbagai pihak agar tujuan mulia kebijakan ini dapat tercapai tanpa menimbulkan kesulitan tambahan bagi masyarakat.
Seperti kata pepatah, “Jalan menuju neraka seringkali diaspal dengan niat baik.” Namun, dalam konteks ini, semoga niat baik pemerintah benar-benar membawa manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.