Man will be erased like a face drawn in sand at the edge of the sea.
—Michel Foucault
jfID – Rokok telah menjadi salah satu warisan budaya yang memiliki nilai simbolis tertentu. Setidaknya, demikianlah yang terjadi dalam kebudayaan desa. Sampai kini masih dapat kita saksikan rokok seperti menjadi salah satu syarat utama acara pernikahan di pedesaan. Sebagaimana yang terjadi pada acara jagongan (rembukan sekaligus melekan) dan becekan (sumbangan berbalas dengan uang pada lelaki dan barang-barang kebutuhan pokok pada perempuan) menjelang prosesi pernikahan satu atau dua hari berikutnya.
Sebelum jamuan makan para pejagong akan dipersilahkan duduk dan dipersilahkan untuk menikmati kopi yang biasanya dicampur dengan nasi kering yang ditumbuk (karak), roti bolu, dan rokok. Pada lelaki lazimnya para pejagong mengenakan sarung dan bersongkok laiknya seorang santri. Barangkali, di sinilah kultur nahdliyin yang dahulu memang lebih berbasis pedesaan bermula. Tapi tak pula tepat dikatakan bahwa itulah kultur nahdliyin. Sebab, pada desa-desa yang tak semata berpenduduk muslim juga menghidupi tradisi ini. Entah orang Katolik maupun Buddhis di pedesaan lumrah pula mengenakan sarung pada acara-acara komunal tertentu (Menghidupi Tradisi, Menyemai Toleransi, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Kali ini saya tak akan kembali mengulas rokok (Melongok Dari yang Tak Pokok, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org), ada yang saya kira lebih menarik untuk dibahas yang tentunya tak jauh dari rokok itu sendiri: asbak. Konon asbak, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai “astray,” secara khusus mulai menjadi tempat untuk membuang puntung dan abu rokok seperti yang kita kenal sekarang adalah karena para perempuan turut pula menjadi penikmat rokok. Dengan kata lain, ada sentuhan estetis tertentu pada bentuk asbak sekarang yang kelihatan lebih “nyeni.”
Adakah transformasi bentuk asbak yang seturut dengan keikutsertaan para perempuan sebagai penikmat rokok menandakan lahirnya feminisme? Yang jelas, asbak sebagaimana bentuknya yang sekarang—mungil, dekoratif, dan praktis—mulai mengemuka pada awal abad ke-20 saat berbagai ideologi besar saling berlomba untuk memperbaiki kehidupan manusia: kapitalisme, sosialisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme. Atau pendek kata, optimisme modernisme yang terkadang terlalu optimistik sehingga melahirkan irasionalitas seperti halnya totalitarianisme, baik pasar maupun negara, tak dinyana justru menjadikan manusia sebagai seonggok subyek yang dibentuk oleh berbagai praktik pengetahuan/kekuasaan sebagaimana yang dibongkar oleh Michel Foucault.
Wacana kedokteran pada akhirnya menciptakan manusia sebagai subyek yang sehat dan sakit. Wacana psikiatri pada akhirnya menciptakan manusia sebagai subyek yang waras dan edan. Wacana marxisme pada akhirnya menciptakan manusia sebagai subyek yang bekerja sekaligus pengubah nasibnya sendiri. Sementara agama menciptakan manusia sebagai subyek yang pada dasarnya ditentukan oleh Tuhan ataupun karma. Kategori sehat dan sakit, waras dan edan, patuh dan berontak, yang sebelumnya kabur atau tak berbatas tegas, seumpamanya majdzub yang diyakini berada di ruang antara kegilaan dan kewarasan, dst., menghilang seiring tumbuhnya disiplin ilmu psikiatri, psikologi sekaligus rumah sakit jiwa. Dengan kata lain, modernisme yang sarat dengan ukuran yang pasti dalam menilai segala sesuatu, telah meletakkan manusia laiknya seonggok asbak dimana ketika abu dan puntung rokok mulai penuh bersesakan segera dibuang dan kembali diisiulang oleh apapun yang patut dibuang.
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)