Apakah Ramalan Jayabaya Benar atau Bohong? Ini Fakta dan Dampaknya!

Ningsih Arini By Ningsih Arini
10 Min Read

jfid – Ramalan Jayabaya adalah salah satu ramalan yang berasal dari tradisi Jawa dan konon ditulis oleh Prabu Jayabaya, raja Kerajaan Kediri pada abad ke-12. Ramalan ini mengandung berbagai peristiwa yang akan terjadi di masa depan, seperti penjajahan Belanda dan Jepang, kemerdekaan Indonesia, dan zaman keemasan Nusantara. Ramalan ini sangat populer di kalangan masyarakat Jawa dan sering dijadikan sebagai sumber inspirasi, harapan, atau kekhawatiran.

Namun, seberapa valid dan relevan kah ramalan Jayabaya ini? Apakah ramalan ini benar-benar berasal dari Prabu Jayabaya atau hanya merupakan hasil rekayasa dari para pujangga yang hidup di masa-masa berikutnya? Apakah ramalan ini memiliki nilai sejarah, budaya, atau ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan? Apakah ramalan ini dapat memberikan manfaat atau justru membawa dampak negatif bagi perkembangan bangsa Indonesia?

Keaslian Ramalan Jayabaya

Salah satu hal yang perlu dikritisi adalah keaslian dari ramalan Jayabaya itu sendiri. Apakah ramalan ini benar-benar ditulis oleh Prabu Jayabaya atau hanya merupakan hasil karangan dari orang-orang yang mengaku sebagai pewarisnya? Menurut beberapa sumber12, ada beberapa versi dari ramalan Jayabaya yang beredar di masyarakat, seperti Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, Serat Jangka Jayabaya, dan lain-lain. Versi-versi ini memiliki perbedaan dalam hal bahasa, gaya, isi, dan waktu penulisan.

Salah satu versi yang dianggap paling tua dan asli adalah Kitab Asrar (Musarar) yang dikarang oleh Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) pada tahun 1618 M1. Sunan Giri Prapen mengklaim bahwa ia mengumpulkan ramalan-ramalan Jayabaya dari berbagai sumber dan menyusunnya dalam kitab tersebut. Namun, ada beberapa masalah dengan klaim ini. Pertama, Sunan Giri Prapen hidup sekitar lima abad setelah Prabu Jayabaya, sehingga sangat sulit untuk memverifikasi kebenaran sumber-sumber yang ia gunakan. Kedua, Sunan Giri Prapen sendiri adalah seorang tokoh politik dan agama yang memiliki kepentingan tertentu dalam menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa ia menambahkan atau mengubah beberapa bagian dari ramalan Jayabaya untuk mendukung agenda-agendanya.

Ad image

Selain itu, ada juga versi lain yang ditulis oleh Pangeran Wijil I dari Kadilangu (Pangeran Kadilangu II) pada tahun 1741-1743 M1. Pangeran Wijil I adalah seorang keturunan Sunan Kalijaga dan seorang pujangga keraton Kartasura. Ia juga menulis berbagai buku sejarah seperti Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, dan lain-lain. Namun, buku-buku sejarah ini juga tidak sepenuhnya dapat dipercaya karena banyak mengandung unsur mitos, legenda, dan khayalan. Selain itu, Pangeran Wijil I juga memiliki motif politik dalam menulis ramalan Jayabaya, yaitu untuk mendukung pemberontakan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) melawan Pakubuwono II.

Dari dua contoh di atas, dapat dilihat bahwa ada banyak keraguan mengenai keaslian dari ramalan Jayabaya. Tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Prabu Jayabaya benar-benar menulis ramalan tersebut. Bahkan, dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yaitu Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, tidak pernah menyebutkan bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis apapun dalam kitab-kitab mereka1. Oleh karena itu, ramalan Jayabaya kemungkinan besar adalah hasil dari rekayasa para pujangga yang hidup di masa-masa berikutnya dan memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam menyebarkannya.

Ketepatan Ramalan Jayabaya

Hal lain yang perlu dikritisi adalah ketepatan dari ramalan Jayabaya. Apakah ramalan ini benar-benar menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa depan atau hanya merupakan kebetulan belaka? Apakah ramalan ini bersifat spesifik atau ambigu? Apakah ramalan ini dapat diuji secara ilmiah atau hanya bersifat spekulatif?

Salah satu ramalan Jayabaya yang paling terkenal adalah tentang penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia. Ramalan ini berbunyi:

Besok kalau sudah ada kereta berjalan tak berkuda, tanah Jawa berkalung besi, perahu berjalan di atas angkasa, sungai kehilangan lubuknya, pasar hilang kumandangnya, itulah tanda bahwa zaman Jayabaya semakin dekat. Bumi makin ciut, sejengkal tanah diberi pajak, kuda makan sambal, perempuan berpakaian laki-laki, itulah pertanda, bahwa orang sampai di zaman yang terbolak-balik. Tunjung putih sirna, muktinya orang Jawa. Kalau pulau Jawa tinggal selebar daun kelor kelak akan datang jago kate wiring kuning dedege cebol kepalang yang menguasai pulau Jawa seumur jagung.2

Ramalan ini dianggap menggambarkan kedatangan orang-orang Eropa yang membawa kereta api, kapal uap, dan pesawat terbang. Ramalan ini juga dianggap menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi yang memburuk akibat penjajahan Belanda yang memeras rakyat dengan pajak dan monopoli perdagangan. Ramalan ini juga dianggap menggambarkan perubahan budaya dan moral yang terjadi akibat pengaruh Barat, seperti pakaian, makanan, dan perilaku. Ramalan ini juga dianggap menggambarkan harapan akan kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan hilangnya bunga teratai putih (lambang Belanda) dan datangnya orang-orang berkulit kuning dari utara (lambang Jepang) yang hanya akan menjajah Indonesia dalam waktu singkat.

Namun, jika dilihat lebih kritis, ramalan ini sebenarnya sangat ambigu dan tidak spesifik. Ramalan ini tidak menyebutkan secara jelas siapa orang-orang berkulit putih dan kuning yang dimaksud, kapan mereka datang dan pergi, bagaimana cara mereka menjajah Indonesia, dan apa dampaknya bagi bangsa Indonesia. Ramalan ini juga menggunakan metafora-metafora yang sulit untuk ditafsirkan secara objektif, seperti tanah Jawa berkalung besi, sungai kehilangan lubuknya, pasar hilang kumandangnya, bumi makin ciut, kuda makan sambal, perempuan berpakaian laki-laki, tunjung putih sirna, dan lain-lain. Ramalan ini juga tidak konsisten dengan fakta sejarah yang terjadi. Misalnya, penjajahan Belanda tidak dimulai dengan kedatangan kereta api atau kapal uap, melainkan dengan ekspedisi militer VOC pada abad ke-17. Penjajahan Jepang juga tidak berlangsung seumur jagung (sekitar 3 bulan), melainkan sekitar 3 tahun (1942-1945).

Oleh karena itu, ramalan Jayabaya tentang penjajahan Belanda dan Jepang ini sebaiknya tidak dianggap sebagai suatu prediksi yang akurat atau ilmiah. Ramalan ini lebih tepat dianggap sebagai suatu interpretasi atau konstruksi sosial yang dibuat oleh orang-orang yang

berusaha untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang mereka hadapi. Ramalan ini juga dapat berubah-ubah sesuai dengan sudut pandang, kepentingan, atau harapan dari orang-orang yang membacanya.

Dampak Ramalan Jayabaya

Hal terakhir yang perlu dikritisi adalah dampak dari ramalan Jayabaya. Apakah ramalan ini memberikan manfaat atau justru membawa dampak negatif bagi perkembangan bangsa Indonesia? Apakah ramalan ini memberikan motivasi atau justru menimbulkan ketergantungan dan fatalisme bagi masyarakat Indonesia?

Salah satu manfaat yang dapat diberikan oleh ramalan Jayabaya adalah memberikan inspirasi dan harapan bagi bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan dan kemajuan. Ramalan ini dapat dijadikan sebagai sumber semangat dan optimisme bagi para pejuang, pemimpin, dan rakyat Indonesia yang menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam sejarahnya. Ramalan ini juga dapat dijadikan sebagai sumber kebanggaan dan identitas bagi bangsa Indonesia yang memiliki warisan budaya yang kaya dan unik.

Namun, di sisi lain, ramalan Jayabaya juga dapat membawa dampak negatif bagi perkembangan bangsa Indonesia. Ramalan ini dapat menimbulkan sikap pasif, apatis, dan fatalistik bagi masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh takdir dan tidak dapat diubah. Ramalan ini juga dapat menimbulkan sikap fanatik, dogmatik, dan intoleran bagi masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa ramalan ini adalah suatu kebenaran mutlak dan tidak mau mendengarkan pendapat atau pandangan lain. Ramalan ini juga dapat menimbulkan sikap spekulatif, mistis, dan irasional bagi masyarakat Indonesia yang lebih percaya pada hal-hal gaib dan tidak mau berpikir secara kritis dan ilmiah.

Oleh karena itu, ramalan Jayabaya sebaiknya tidak dijadikan sebagai suatu pedoman hidup atau acuan utama dalam menghadapi masa depan. Ramalan ini sebaiknya dianggap sebagai suatu produk budaya yang memiliki nilai sejarah dan artistik, tetapi tidak memiliki nilai ilmiah atau prediktif. Ramalan ini sebaiknya dihadapi dengan sikap yang lebih kritis, rasional, dan objektif.

Share This Article