jfID – Biasanya selalu terdapat apa yang kita kenal sebagai “sawang” di pojok-pojok sudut ruangan bagian atas rumah kosong atau rumah yang jarang kita bersihkan. Terkadang, ia juga berjuntai di bawah kolong meja dan sesela rak buku. Seperti sarang laba-laba, sawang akan lengket di badan ketika kita menyentuhnya. Tapi tak seperti sarang laba-laba yang keputihan, sawang lebih lethek atau coklat kumal warnanya. Tampaknya, ia serupa dengan jelaga atau sisa nyala ublik atau lampu senthir yang dihasilkan oleh minyak tanah ketika semalaman menerangi kegelapan.
Ada yang menarik saya kira dari sawang dimana kemudian istilah “sawangen,” yang bermakna “lihatlah,” diderivasikan. Pada dasarnya ia dianggap sebagai kotoran, sesuatu yang tak membuat sedap pandangan. Tapi dari namanya, kita seolah dituntut untuk memandangnya. Tak lazim sesuatu yang kotor, taruhlah “tai,” secara tersirat dituntut untuk dipandang.
Barangkali, memang demikianlah moral story sawang yang tiba-tiba suka menghiasi sesela ruang, yang mesti dipandang dan kemudian dibersihkan. Dahulu kala Sidharta dikurung dalam kemewahan dan kemegahan oleh orangtua dan kaumnya, untuk tak memandang bahwa dunia dan kehidupan ternyata hanyalah sebentuk samsara—sebagaimana yang ia petik ketika bersikeras untuk keluar dari istana. Drama spiritualitas Buddhisme kemudian lahir karena sikap kerasnya untuk memandang kenyataan: 4 kebenaran mulia dan 8 jalan pembebasan.
Dari kearifan sawang, karena itu, eskapisme pada akhirnya adalah suatu hal yang secara moral tak baik. Eskapisme tak semata perilaku religius yang menampik dan mengelak dari kenyataan yang dipandang bobrok dan menjijikkan, sebagaimana cerita manusia gua Plato yang terkenal itu (“Kadhung Kedhuwung”, Gua dan Beberapa Catatan Tentangnya, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Ia pun dapat pula mengejawantah dalam kecenderungan apolitis kita yang memandang politik terlalu rendah karena karib dengan bualan, kelicikan, intrik, dan bahkan kebengisan.
Sebagaimana pilkada dimana akhir-akhir ini menjadi buah bibir ataupun buah jari rata-rata dari kita. Ada yang memilih menundanya karena wabah corona yang tak juga enyah dari kehidupan kita. Ada yang memilih tetap melanjutkannya sebagaimana rencana semula. Ada yang memilih apolitis, masa bodoh, laiknya anak-anak yang baru bermimpi basah dan asyik dengan dara buruannya. Ada pula yang memilih sikap “nyumanggaaken.” Belum lagi kabar-kabar yang tersiar tentang ketakbecusan dalam penyelenggaraan pemilu, adanya berbagai pelanggaran di lapangan, pemaksaan dan pengarahan pada kandidat tertentu di akar rumput, dan sinyalemen pendanaan yang dilakukan oleh para cukong.
Saya pribadi tak pernah memandang politik seluhur agama yang mesti bersih dari dosa. bagaimana pun politik adalah soal bagaimana orang menjadi beradab seperti halnya konotasi istilah “polis” dimana istilah politik kemudian diderivasikan. Dan memang pengertian politik dalam kerangka polis ini bukan pula tanpa persoalan. Secara kritis, polis mengandaikan adanya “desa” yang secara tersirat—mengingat polis identik dengan peradaban—“tak beradab” atau “belum beradab” yang karena itu mesti “diberadabkan.” Karena itu, tak salah pula ketika sebagian dari kita memandang politik sebagai sesuatu yang negatif. Tapi, beranjak dari sawang, barangkali politik memang jejaring kotor yang sebenarnya tak sedap untuk dipandang. Tapi, laiknya sawang pula, meskipun kotoran, politik mestilah dipandang untuk kemudian dibersihkan dalam rangka membuat indah ruangan.
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)