Pecut

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read

jfid – Ketika saya masih bocah sering menjumpai aktivitas menggembalakan itik yang lazim di pedesaan dan di kalangan pertanian. Sang penggembala biasanya bercaping dan menggunakan pecut sebagai alat untuk mengkomando para itik gembalaan. Pecut, berbeda dengan cemethi, memiliki gagang yang lebih panjang dari talinya yang akan bercetar ketika dikipaskan. Seperti halnya bentuk pecut yang digunakan dalam karapan sapi di Madura, pecut yang digunakan untuk menggembalakan itik memang tampak khas kalangan pertanian. Sedangkan cemethi biasanya berukuran lebih besar dimana talinya lebih panjang dari gagangnya sehingga akan menghasilkan suara jumedher yang jauh lebih sangar daripada pecut. Seandainya pecut ibarat sumeleting thatit, maka cemethi ibarat jumedhering bledek yang identik dengan senjata perang yang sanggup memecahkan kepala.

Tapi sangat aneh dengan karakter Prabu Klana Sewandana di Ponorogo yang konon berpusakakan pecut Kyai Samandiman. Terang, penggambaran dalam sendratari reyog Ponorogo tak mengidentikannya dengan seorang petani. Memang, sejarah reyog Ponorogo sampai hari memiliki setidaknya dua versi besar yang masing-masing hidup dan dihidupi (Lenyapnya Sisi Politis Reyog, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Versi sendratari, saya kira, merupakan adaptasi dari cerita Panji dan Dewi Sekartaji di era kerajaan Kediri yang melahirkan seni tari topeng yang merentang dari Malang sampai Cirebon. Dan jelas, fungsi pecut, baik di Madura maupun Ponorogo, bukanlah untuk berperang, tapi untuk menggembalakan. Di Madura ia digunakan untuk menggembalakan sapi. Adapun di kerajaan Wengker, Ponorogo kini, ia digunakan untuk menggembalakan singa (Singabarong) sebagai seserahan untuk menikahi putri Kediri, Dewi Sanggalangit.

Saya melihat bahwa pecut merupakan sebuah kearifan lokal tentang bagaimana melakukan sebuah kontrol sosial, khususnya, kontrol masyarakat pada pemimpinnya. Demokrasi pada dasarnya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena itu, sebenarnya ia menuntut keterlibatan publik dalam mengatur kehidupannya. Sebab jelas, pada konsep demokrasi kekuasaan tak mutlak di tangan sang pemimpin seperti di era kerajaan.

Populisme (entah apapun variannya), yang beberapa tahun terakhir ini tampak kuat menghiasi panggung politik di Indonesia, kiranya akan berjalan sebagaimana mestinya, tanpa perlu membantai para ahli (the death of expert) yang hanya akan berujung bunuh diri, andaikata melakukan kontrol publik dengan menggunakan pecut laiknya para penggembala itik.

Ad image

Filosofi pangon atau penggembala pada dasarnya hanya bersifat mengarahkan gembalaan untuk senantiasa on the track. Pecut hanya akan sumelet ketika gembalaan sudah dirasakan keluar dari jalur. Gembalaan akan dibiarkan mengambil inisiatif atau berimprovisasi sesuai dengan kapasitas dan potensinya. Sebab, aspirasi memang datang dari rakyat yang beraneka ragam dan datang dari berbagai latar belakang yang acap hanya berupa idealitas semata yang terkadang tak kongruen dengan realitas kongkritnya, tapi mengenai realisasinya hanya yang mengemban amanah yang jauh lebih mengetahuinya. Populisme memang tak menyaratkan segala hal untuk terukur. Ia hanyalah aspirasi mentah laiknya kayu glondongan yang perlu dibentuk dan dirapikan terlebih dahulu untuk menjadi mebel atau perkakas lainnya. Celakanya, populisme saat ini sudah membantai para tukang yang paham akan seluk-beluk perkayuan, sehingga seringkali output-nya adalah rubuhan hutan yang justru membahayakan kehidupan publik (Era “Klambrangan”, Era Desas-desus, Heru HarjoHutomo, https://alif.id). Karena itu, anarkisme sebagai ujung terjauh populisme—yang seperti halnya jumedhering bledek—sudah saatnya ditinggalkan untuk meraih demokrasi yang berkualitas dan kepemimpinan yang tak “masturbasif” dan penuh wirang (Pangon dan Pamong, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).     

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

TAGGED:
Share This Article