Oleh : Herry Santoso
JAGAD perpolitikan kita semakin memanas (getting hotter). Hal itu setelah pertemuan Joko Widodo – Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebakbulus berlanjut ke pertemuan Megawati Soekarnoputri – Prabowo di rumah Megawati.
Sungguh, peristiwa paling fenomenal pasca Pilpres 2019 lantaran tidak terduga sebelumnya akan terjadi pertemuan kontroversi itu. Sebab bagaimana pun juga Prabowo adalah rival Jokowi bahkan merupakan oposisi dari pemerintah yang nota memiliki “haluan berbeda” di panggung perpolitikan nasional.
Apapun alasannya pertemuan tersebut sungguh sebuah “political paradoks” yang menarik untuk diapresiasi. Dalam pandangan ekstrem bisa disebut sebagai “keputusasaan Prabowo” dalam berpolitik karena kekalahan telak di MK. Sulit dijabarkan dalam nalar demokrasi jika akhirnya Prabowo Subianto final mendukung dan berkualisi dengan Jokowi. Inilah di opini saya terdahulu di Julnalfatual.id sebagai cat’s dung of democracy (demokrasi tahi kucing) yaitu anekdot dari sebuah ironisme demokrasi yang tidak “berpakem” pada ruh demokrasi yang semestinya, sungguhpun banyak politikus yang justru menyatakan “itulah demokrasi”. Sebab makna demokrasi harus ada oposisi sebagai “bandul penyeimbang” ( political balancing ) sebuah kekuasaan.
Purifikasi Politik
Bagaimanapun Prabowo Subianto adalah seorang negarawan dan nasionalis. Wajar jika langkah tersebut dilakukan sebagai alat purifikasi politik atau upaya penyetirilan politik. Sebab selama proses pemilu telah terjadi akulturasi politik yang berbasis nasionalis dengan politik Islam “garis keras”. Sebagai dampak latens dari formulasi koalisi politik tersebut adalah terjadinya polarisasi dan dikotomi baik di tubuh Islam sendiri maupun di gen nasionalis. Islam seakan terkotak-kotak oleh garis demarkasi yakni yang berideologi fundamentalis yang kontra pemerintah dan Islam liberal yang mendukung pemerintah. Jika hal ini dibiarkan tidak mustahil bisa berimplikasi terhadap disintegrasi bangsa lantaran masyarakat bawah ( grass roots ) terpecah belah oleh kepentingan elite politik.
Apa yang disebut terakhir itulah yang membawa kesadaran elite politikus untuk kembali menjalin “kemesraan” agar terjadi cooling down di habitat konstituen. Sebab selama proses Pemilu 2019 benar-benar terjadi emotional burning (pembakaran emosi) massa di tungku politik.
Belum lagi adanya indikasi “ideologi nunut” (penyusupan ideologi) anti-Pancasila yang turut bersenyawa dalam koalisi yaitu faham khilafah. Fenomena tersebut akan jadi dua kutub magnet yang saling berseberangan yang pada gilirannya mendorong bangsa ke lembah petaka : disintegrasi.
Dari sini bisa dikatakan pertemuan Jokowi-Prabowo, maupun Megawati-Prabowo adalah sebuah fenomena yang amat berdampak positif. Akan tetapi jika kemudian Prabowo juga bergegas minta jatah kursi di kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin, maka demokrasi politik kita adalah benar-benar “demokrasi cap tahi kucing” ( cat’s dung of demokrasi ) yang benar-benar “made in” politik kekinian. Hoalah….
Herry Santoso, adalah pemerhati masalah sosial-politik dan budaya tinggal di Blitar Jaea Timur