Ma-Hyang

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
- Advertisement -

Wayang iku

Wewayangan kang satuhu

Lelakoning janma ing alam janaloka

Titenana wong cidra mangsa langgenga

Ad image

jfid – Entah kenapa saya seolah selalu menautkan diri dengan sosok Trunajaya yang sampai hari ini tak pernah menjadi nama jalan di Jogjakarta. Padahal, ia pernah berhasil memporak-porandakan keraton Pleret saat Amangkurat I berkuasa. Konflik antara Giri Kedaton peninggalan Sunan Giri dan kerajaan Mataram Islam selalu menarik untuk dikajiulang.

Konflik yang berujung dibunuhnya ribuan ulama yang berafiliasi ke Giri Kedaton itu menyibakkan sebuah jejaring yang menyambung dari Madura, Bayat, Kajoran hingga Pakubuwana I di Kartasura. Dan memang dalam sebuah legenda, yang menunjukkan Alas Mentaok, yang kemudian menjadi cikal-bakal kerajaan Mataram Islam, pada Ki Ageng Pemanahan adalah Sunan Giri sebagai bentuk balas-jasa Sultan Hadiwijaya di Pengging pada anak Ki Ageng Sela itu yang, bersama anaknya, Danang Sutawijaya, mengalahkan Arya Penangsang.

Trunajaya adalah seorang pangeran dari Madura yang merupakan anak menantu Panembahan Kajoran di Bayat, Klaten. Ketika menjadi buruan orang-orang Mataram, Trunajaya mencari suaka pada Panembahan Kajoran yang waktu itu merupakan sosok berpengaruh, yang kelak menurunkan, dari jalur Ratu Wetan, Pakubuwana I, adik dari Sunan Amral atau Amangkurat II, sang pembantai Trunajaya dan laskarnya (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020). Sementara, dari catatan silsilah di makam Bayat, Panembahan Kajoran merupakan keturunan dari Panembahan Agung, adipati ke-2 di Ponorogo.

Ziarah, bagi saya pribadi, pada dasarnya adalah sebentuk aktivitas sejarah yang tak meletakkan sejarah sebagai sebentuk penelitian atas masa silam yang bersifat statis. Sebagaimana tradisi khol, manakiban di pesantren, tradisi kenduri yang berwujud peling atau memperingati kematian hari para luluhur di komunitas masyarakat Jawa, dan sejarah sebagai sebentuk silaturahmi saat idul fitri tiba di kalangan masyarakat pedesaan Jawa, sejarah dalam hal ini adalah sebentuk kata kerja aktif, sebentuk laku dimana kita tak pernah lepas dari kesilaman tersebut (Ma-Hyang, Heru Harjo Hutomo, 2020).

Istilah dan konsep sejarah sebagai sebuah kata kerja aktif tersebut cukup gamblang ketika orang memahami konsep besar pagelaran wayang purwa yang di masa silam disebut sebagai “mahyang” dimana prefiks “ma” menunjukkan kata kerja aktif dan “hyang” berarti leluhur atau eyang. Di hari ini, pelidahan istilah “mahyang” berubah menjadi “wayangan” yang berarti menggelar pertunjukan wayang purwa. Dengan demikian, sebagaimana yang tercermin dalam sebait tembang yang menggambarkan wayang sebagai kacabenggala kehidupan, sejarah pada dasarnya adalah sebentuk upaya pelacakan kembali tentang siapa dan dari mana serta akan ke mana kita, dimana pada akhirnya kita adalah bagian dari sesuatu yang besar dan saling berkesinambungan. Bukankah ilmu genetika menyajikan fakta bahwa apa yang pernah tersimpan dalam memori para orangtua dan para leluhur kita tak pernah hilang dan terwariskan sebagaimana sifat gen itu sendiri?

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

- Advertisement -
Share This Article