jfid – Di tepian Samudera Hindia, di tengah riak ombak yang menghantam pantai Aceh, terdapat panggung dramatis dari pertarungan nilai-nilai fundamental: kemanusiaan versus keamanan.
Ratusan pengungsi Rohingya, yang mengalami penderitaan dan mencari perlindungan, menemui pintu tertutup di provinsi yang dulu menjadi simbol kemanusiaan.
Kini, Aceh yang dulu ramah terhadap pengungsi, menampilkan wajah baru yang menolak kedatangan mereka.
Pertanyaan mengapa perubahan sikap ini terjadi dan bagaimana nasib pengungsi Rohingya yang terus memburuk adalah panggilan moral yang mendesak.
Warga Aceh, yang menolak kedatangan pengungsi Rohingya, mengungkapkan kekhawatiran akan ketiadaan tempat penampungan yang memadai.
Kebersihan, kesehatan, dan ketertiban lingkungan menjadi alasan utama. Mereka menganggap bahwa kondisi para pengungsi sebelumnya tak terjaga, menimbulkan ancaman akan penyebaran penyakit, konflik sosial, bahkan potensi terorisme.
Dalam hal ini, keamanan lokal diutamakan, mengalahkan prioritas kemanusiaan yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam menangani pengungsi.
Namun, di balik penolakan ini, muncul kebingungan atas kebijakan yang tidak konsisten dari pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah pusat cenderung berperan pasif dalam memberikan perlindungan kepada pengungsi, sementara pemerintah daerah tidak memiliki cukup sumber daya untuk menangani masalah ini sendiri.
Hal ini mendorong masyarakat, terutama para nelayan dan relawan, untuk mengambil peran dalam menolong dan menampung pengungsi.
Namun, ketergantungan pada inisiatif masyarakat tanpa dukungan yang kokoh dari pemerintah membawa ketidakpastian dalam jangka panjang.
Pandangan awal warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya dipenuhi dengan rasa solidaritas, sebagaimana mereka merasakan kesamaan agama, budaya, dan sejarah.
Namun, seiring berjalannya waktu, pandangan ini mulai berubah. Pengungsi tidak hanya dilihat sebagai sesama umat Islam yang perlu dilindungi, tetapi sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang harus dihormati.
Kesadaran tumbuh bahwa bantuan sementara bukanlah solusi; solusi jangka panjang yang melibatkan keterlibatan negara-negara lain menjadi kebutuhan mendesak.
Penolakan ini menjadi cerminan dilema kompleks yang dihadapi tidak hanya oleh Aceh dan Indonesia, tetapi juga komunitas internasional dalam menyelesaikan masalah pengungsi Rohingya.
Ini menyoroti perlunya kesadaran kolektif untuk melindungi hak asasi manusia, khususnya bagi mereka yang paling rentan dan sering terpinggirkan.
Mengambil sikap sulit seringkali membutuhkan pertimbangan antara kemanusiaan dan keamanan.
Namun, dalam perjuangan ini, terbuka jalan bagi sebuah panggilan moral yang tak terelakkan: menjaga keseimbangan antara kedua nilai fundamental tersebut.