jfid – Jika kita berbicara tokoh NU di era Orde Baru sampai Reformasi yang pertama kali diingat orang pasti Gus Dur. Sepertinya banyak orang yang lupa -atau bahkan tidak tahu- bahwa selain Gus Dur yang pernah menjadi presiden, ada pula kader NU yang pernah menjadi wakil presiden sebelum Kiai Ma’ruf Amin yaitu Hamzah Haz.
Putra Melayu kelahiran Kalimantan Barat ini adalah anggota NU sejak usia muda dan setelah partai-partai Islam berfusi ke dalam PPP ia meniti karier politiknya di PPP sampai terpilih menjadi Ketua Umum DPP PPP tahun 1998. Terpilihnya Hamzah Haz adalah sebuah sejarah karena untuk pertama kalinya Ketua Umum PPP berasal dari unsur NU. Sejak saat itulah sampai sebelum muktamar yang baru lalu Ketua Umum PPP selalu berasal dari NU.
Memang Hamzah Haz berbeda dengan banyak kader NU mulai era Gus Dur yang tampil progresif dan terkesan liberal. Hamzah Haz adalah politisi Islamis yang konservatif. Di bawah kepemimpinannya, PPP bersama-sama dengan PBB -yang mengklaim sebagai penerus Masyumi- memperjuangkan pengembalian 7 kata dalam Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 yang diamandemen pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 meskipun akhirnya gagal. Sebuah langkah yang dikritik oleh PBNU dan PP Muhammadiyah ketika itu.
Meskipun konservatif, Hamzah Haz juga dikenal pragmatis, bahkan bisa saja dicap inkonsisten. Pada kampanye Pemilu 1999 ia dan partainya gencar menyampaikan haram hukumnya wanita menjadi kepala negara yang tidak lain ditujukan untuk menjegal Megawati yang ketika itu sangat populer dari meraih kursi presiden. Namun setelah Gus Dur dilengserkan dan Megawati naik sebagai presiden justru Hamzah Haz menjadi wakil presiden mendampingi Megawati. Fatwa haram itu pun tak terdengar lagi.
Terlepas dari pragmatismenya, Hamzah Haz tetaplah seorang politisi Islamis yang pandangan dan sikap politiknya mencerminkan sensibilitas kalangan Muslim konservatif. Ketika menjadi wapres ia tidak segan-segan merangkul para tokoh Islam yang dicap radikal bahkan terkesan membela mereka. Hamzah Haz menjenguk Panglima Laskar Jihad Ustadz Ja’far Umar Thalib dan Imam Besar Petamburan sewaktu mereka dipenjara. Kunjungan itu menjadi kontroversi karena dianggap menunjukkan sikap sektarian yang tidak boleh dimiliki seorang pejabat publik sekelas wakil presiden. Yang cukup menjadi blunder adalah ketika ia membantah keberadaan jaringan Al Qaeda di Indonesia dan menyangsikan adanya organisasi Jamaah Islamiyah seraya menganggapnya hanya isu yang dihembuskan media Barat untuk memojokkan Islam. Belakangan kita tahu bahwa keberadaan Al Qaeda dan JI di Indonesia memang nyata adanya dan bukan isapan jempol belaka.
Bisa dikatakan bahwa perpaduan sikap konservatif khas Islamis dan gaya pragmatis Hamzah Haz adalah tipikal politisi NU era K.H. Idham Chalid. Bukan hal aneh mengingat Hamzah Haz adalah murid politik K.H. Idham Chalid yang sama-sama berasal dari Kalimantan. Mungkin keteguhan memegang prinsip Islamis-konservatif -sekalipun diimbangi dengan gaya pragmatis- lah yang membuatnya tidak populer di kalangan NU -terutama generasi mudanya- yang lebih tertarik dengan pemikiran progresif ala Gus Dur. Namun demikian justru ini membuatnya dihormati kalangan Islam di luar NU dan diakui sebagai representasi umat Islam di pentas nasional alih-alih tokoh NU belaka. Suatu hal yang sekarang sepertinya menjadi hal langka.
Penutup:
Beberapa waktu lalu ada berita bahwa Pak Hamzah Haz meninggal dunia namun ternyata hoax. Beliau hanya sakit, bukan meninggal. Semoga Allah selalu melindungi dan merahmati beliau.