jfid – Bayangkan, seorang pria dengan jubah putih bersih, sorban melilit kepala, dan tasbih yang tak pernah lepas dari genggaman. Penampilannya begitu religius, seolah-olah baru saja turun dari langit ketujuh.
Siapa sangka, di balik penampilan serba Arab itu, ada nafsu yang bergejolak seperti lava Gunung Merapi.
Inilah kisah Muhammad Erik, pengurus Ponpes Hubbunabi Muhammad SAW (HBM) di Lumajang, yang kini jadi selebriti instan.
Bukan karena ceramahnya yang memesona, tapi karena skandal pernikahannya dengan santriwati di bawah umur tanpa sepengetahuan orang tua sang gadis. Luar biasa, bukan? Bak sinetron, tapi sayangnya ini nyata.
Fakta Kasus
Pada 15 Agustus 2023, Muhammad Erik menikahi santriwati berusia 16 tahun secara siri tanpa izin orang tuanya.
Pernikahan ini terkuak ketika korban mulai hamil, dan ayah korban baru mengetahuinya dari gosip tetangga.
Muhammad Erik menggunakan taktik bujuk rayu, bahkan menjanjikan uang sebesar Rp300 ribu untuk menikahi korban.
Kini, dia ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani proses hukum.
Pakaian Sebagai Penyamaran?
Fenomena ini mengingatkan kita pada betapa seringnya pakaian dijadikan alat untuk menutupi perilaku buruk.
Dalam budaya kita, semakin Arab penampilan seseorang, semakin besar ekspektasi masyarakat terhadap kesalehannya.
Namun, kasus seperti ini menunjukkan bahwa penampilan bisa sangat menipu.
Secara psikologis, ada teori yang menyebutkan tentang “cognitive dissonance” di mana individu yang melakukan tindakan bertentangan dengan nilai-nilai mereka cenderung berusaha menutupinya dengan menunjukkan perilaku yang berlawanan di hadapan publik.
Dalam hal ini, berpakaian serba religius bisa menjadi cara untuk menyembunyikan keinginan yang sebenarnya.
Dalil dan Teori
Dalam Islam, menikahi anak di bawah umur adalah hal yang kontroversial. Secara fiqh, ada perbedaan pendapat, tetapi mayoritas ulama menyetujui bahwa pernikahan harus dilakukan dengan persetujuan wali dan mencapai umur baligh.
Hadits Nabi Muhammad SAW jelas mengatakan, “Seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya zina dan nikah (tanpa wali) itu adalah sama (haramnya).” (HR. Ahmad).
Dalil ini seharusnya cukup untuk menjelaskan betapa salahnya tindakan Muhammad Erik. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa praktik semacam ini masih terjadi, seringkali disebabkan oleh kurangnya pemahaman agama yang benar dan manipulasi oleh individu tertentu.
Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan. Sebagai pengurus ponpes, Muhammad Erik memiliki otoritas dan kepercayaan dari santri-santrinya. Kekuatan ini seringkali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Dalam teori sosiologi, Michel Foucault berbicara tentang “power dynamics” di mana kekuasaan selalu hadir dalam setiap interaksi sosial dan seringkali digunakan untuk menindas yang lemah.
Keluarga korban tentunya berharap bahwa hukum akan ditegakkan. Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran bagi masyarakat bahwa penampilan religius tidak selalu mencerminkan perilaku yang baik. Sudah saatnya kita lebih kritis dan tidak mudah terbuai oleh tampilan luar seseorang.
Masyarakat kita sering kali terjebak dalam penilaian superfisial. Kasus ini seharusnya membuka mata kita bahwa keimanan tidak ditentukan oleh busana, tetapi oleh tindakan nyata. Ke depannya, diharapkan ada lebih banyak edukasi mengenai hak-hak anak dan pentingnya persetujuan dalam setiap pernikahan.
Mari kita tunggu bersama, apakah Muhammad Erik akan mendapatkan hukuman setimpal? Ataukah drama ini akan berakhir dengan plot twist tak terduga? Hanya waktu yang bisa menjawab.