13 Tahun BNPT: Menyongsong Zaman yang Tak Lagi Hitam-Putih

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
3 Min Read
- Advertisement -

jfid – Genap 13 tahun usia BNPT menjadi garda terdepan dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Satu hal yang pasti, pada tataran diskursus, lewat media jalandamai.org, BNPT setidaknya sudah berupaya menata mindset warga negara Indonesia dalam beragama dan bernegara.

Indonesia memang bukanlah negara agama meskipun tak pula agama di sini menjadi sebuah larangan. Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, ada satu hal yang pasti bahwa terdapat pemilahan antara wilayah keagamaan dengan wilayah ketuhanan. Taruhlah, seperti dalam UUD 1945, pemilahan terhadap istilah “agama” dan “kepercayaan” dimana kini, melalui KUHP pasal 300-305, kedua wilayah itu menjadi setara secara hukum (KUHP Pasal 300-305: Berakidah Secara Konstitusional, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Konon, meskipun Tuhan memang tak dapat dilepaskan dari agama, ternyata Tuhan dan agama memiliki “cara pandang” yang tak selalu sebangun. Orang yang beragama, pada dasarnya, belum tentu juga bertuhan dan orang yang tampak tak lekat dengan agama tak mustahil justru tampak bertuhan.

Fenomena radikalisme dan terorisme keagamaan adalah salah satu tamsil atas keterpilahan antara agama dan Tuhan itu. Bukankah orang yang cenderung radikal dalam beragama ingin berperan laiknya Tuhan?

Ad image

Bahasa agama terang saja adalah bahasa hukum yang cenderung hitam dan putih. Dalam paradigm pascamodern, agama adalah satu wilayah yang akrab dengan logika oposisi biner yang cenderung menjadi amunisi untuk menindas dan menyingkirkan. Ketika orang yang dalam beragamanya berhenti pada agama dalam arti hukum itu semata, kita dapat membayangkan betapa tercekiknya kehidupan ini. Dan barangkali, radikalisme dan terorisme keagamaan dimungkinkan pula berangkat dari hidup yang terasa mencekik tersebut. Bukankah secara bawah-sadar ideal-ideal tentang “tanah yang terjanjikan,” “kerajaan Tuhan,” “surga yang hilang,” dan “72 bidadari,” ketika berada diotak orang yang cenderung radikal adalah bukti akan hidup yang dirasakan mencekik?

Zaman ternyata, yang merupakan bagian dari hidup, memiliki logika yang juga lain. Semakin berjalan ternyata zaman semakin pula tak dapat dikerangkeng oleh bahasa hitam-putih atau logika oposisi biner tanpa sekalipun orang perlu berkoar-koar soal perubahan. Taruhlah negara Arab Saudi yang konon merupakan pusat dari segala puritanisme beragama, pelahan namun pasti ia tak lagi berotak hitam-putih.

Menyongsong generasi emas 2045, sepertinya kita tak perlu khawatir lagi dengan logika hitam-putih ala radikalisme dan terorisme keagamaan, karena zaman, yang merupakan bagian dari hdup, ternyata memiliki “cara pandang” tersendiri untuk menyikapi segala sesuatu yang berada dalam genggamannya. Yang jelas, kehadiran lembaga-lembaga seperti BNPT, sudah berupaya membuka gerbang-gerbang itu. Tinggal kita sendiri yang akhirnya mesti menyesuaikan dengan zaman.

- Advertisement -
Share This Article