Kemana Badan Babi yang Kepalanya Dikirim ke Tempo?

jfid
By jfid
7 Min Read
pink piglet
- Advertisement -

Tanggal 19 Maret 2025—hari yang harusnya hanya berlalu seperti biasa, tiba-tiba berubah menjadi hari penuh kegilaan. Sebuah paket datang ke kantor Tempo, berisi… kepala babi. Ya, kepala babi! Ini bukanlah lelucon tapi nyata.

Tentu saja, kepala babi yang dikirimkan itu bukan sekadar hadiah tak diinginkan, melainkan sebuah teror yang jauh lebih gelap, sebuah ancaman dari mereka yang tak takut menginjak kebebasan, terutama kebebasan pers.

Tapi, mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, kemana badan babi itu? Kalau kepalanya sudah sampai ke Tempo, apakah tubuh babi itu juga sudah disikat habis oleh mereka yang merasa punya hak untuk “makan” semuanya?

Ah, jangan-jangan, badan babi itu sudah habis disantap oleh para penguasa kita yang rakus, yang selalu lapar akan lebih banyak kekuasaan.

Ad imageAd image

Tentu saja mereka tidak akan membiarkan daging babi yang lezat itu terbuang begitu saja, apalagi jika ada kesempatan untuk menggunakannya sebagai bagian dari pesta kekuasaan mereka. Mereka yang duduk di kursi empuk dan tak tersentuh hukum itu pasti tidak akan menahan diri.

Mereka tak pernah menahan nafsu untuk “memakan” apa saja yang mereka anggap sebagai bagian dari kendali mereka. Mungkin tubuh babi itu sudah jadi menu makan siang di ruang makan istana yang mewah, lengkap dengan sambal kekuasaan dan sedikit bumbu penindasan.

Betul, kita bicara soal “daging” yang lebih enak dimakan daripada kebebasan yang tersisa!

Saat kepala babi dikirimkan ke Tempo, itu bukan hanya ancaman terhadap wartawan dan kebebasan pers. Itu adalah pengingat kasar tentang apa yang terjadi ketika kekuasaan yang tidak terkendali semakin lapar.

Pertanyaan kita bukan lagi siapa yang mengirimkan kepala babi itu, melainkan siapa yang sudah memakan badan babi tersebut?

Jangan-jangan mereka yang duduk dengan tangan terlipat dan mata tertutup di balik meja-meja besar, dengan senyum licik yang terpancar dari bibir mereka, yang sudah menyantap tubuh babi itu dengan sangat nikmat.

Mungkin mereka berpikir ini adalah hidangan paling mewah yang pernah mereka nikmati. Kepala babi untuk pers? atau seolah hendak mengatakan ‘pers itu babi’.

Ah, itu hanya bagian kecil. Daging babi yang mereka makan adalah sesuatu yang jauh lebih besar, lebih berharga—yaitu kebebasan rakyat yang semakin terancam, suara-suara yang dibungkam, dan kebenaran yang diputarbalikkan.

Mari kita bicara soal kenyataan yang lebih pedas lagi daripada Sup babi asam pedas. Tidak ada yang akan mengira bahwa kepala babi ini akan berakhir dengan cara yang seperti ini.

Kita semua tahu, pejabat dan penguasa kita ini sangat pandai “menyantap” apa saja yang mereka rasa bisa memberi mereka lebih banyak kontrol. Kalau mereka bisa menghabiskan tubuh babi tanpa sedikitpun rasa bersalah, apa yang membuat kita berpikir bahwa mereka akan berhenti di situ? Mungkin tubuh babi itu bukan hanya sekadar daging.

Mungkin, bagi mereka, itu adalah simbol dari segala sesuatu yang bisa mereka makan, habiskan, dan kuasai. Seperti kebebasan, suara kritis, dan hak-hak rakyat. Hanya itu yang tersisa setelah mereka selesai dengan hidangan mereka. Semua bisa habis dalam sekejap.

Dan sementara mereka berpesta dengan “daging” babi tersebut, kita di sini masih berdebat tentang siapa yang mengirimkan kepala babi itu, dan mengapa.

Apa yang sebenarnya lebih mengerikan dari itu? Bahwa kita, rakyat yang berjuang untuk mempertahankan kebebasan berpendapat, tidak bisa melakukan apa-apa selain terperangkap dalam permainan kekuasaan yang menjijikkan ini.

Di luar sana, mungkin ada orang-orang yang menikmati santapan mewah dari tubuh babi ini—tubuh yang sebenarnya adalah simbol dari apa yang telah dicuri dari kita semua. Mereka makan tubuh babi itu dengan lahap, menikmati setiap gigitan karena mereka tahu, tidak ada yang bisa menghentikan mereka.

Jika kepala babi itu memang dimaksudkan sebagai ancaman, maka apa yang kita lihat sekarang adalah bagian yang lebih menakutkan—mereka yang berkuasa sudah terlalu kenyang dengan makanan yang mereka ambil tanpa izin.

Sudah terlalu banyak yang mereka “makan”, sudah terlalu banyak yang mereka habiskan. Babi ini bukan hanya simbol kebrutalan, tapi juga peringatan bahwa kekuasaan telah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang kita bayangkan.

Mereka tidak hanya menyantap daging babi. Mereka sedang memakan jeroan bangsa ini yang mereka anggap sebagai babi. Mereka mengunyah dan menelan setiap bagian kebebasan, tanpa ada yang berani menghentikan mereka.

Jadi, kita tidak harus bertanya lagi siapa pengirimnya tapi —kemana badan babi itu? Kemana bagian tubuh babi yang berharga itu pergi? Apakah tubuh itu dimakan dengan penuh nikmat di meja-meja yang penuh dengan keangkuhan, atau apakah kita hanya akan menyaksikan sisa-sisanya dibuang begitu saja, sementara mereka yang berkuasa terus berjalan dengan perasaan tak tersentuh, dengan kenyamanan yang semakin mengental di sekitar mereka?

Kepala babi itu mungkin sudah sampai di Tempo, tetapi kita yang di bawah ini harus melihat lebih jauh. Kepalanya hanyalah simbol sisa dari apa yang telah dimakan oleh mereka yang rakus.

Mereka mengonsumsi kebebasan kita, dan kita hanya bisa menyaksikan dengan cemas, sambil bertanya-tanya apakah kita akan terus dibiarkan menjadi penonton dalam pertunjukan kotor ini.

Kepala babi adalah awal dari perjalanan kita—perjalanan untuk menemukan siapa yang sebenarnya memegang kendali atas hidup kita. Dan siapa yang harus kita hadapi jika kita ingin mengambil kembali apa yang telah hilang.

Jangan salah, kita tahu siapa yang makan, kita tahu siapa yang memasak, dan kita tahu siapa yang akan membayar harga mahal atas makan malam itu. Karena yang dimakan bukan hanya tubuh babi—ini adalah tubuh kebebasan kita, yang perlahan-lahan mereka makan hingga habis.

- Advertisement -
Share This Article