“Elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka,”
Baskara T. Wardaya SJ
Jurnalfaktual.id, | Ada suatau hal menarik ketika kita mencoba membaca ulang lagi seorang Bung Karno, selain ia sebagai tokoh pejuang, ia juga merupakan salah satu pelopor pergerakan kemerdekaan yang nampak berbeda dengan kawan aktivis lain semasanya. Itu dikarenakan akan sikap anti terhadap segala bentuk elitisme.
Sikap Bung Karno terhadap elitisme ini bukan berarti tanpa alasan yang tidak jelas, tetapi hal itu karena disebabkan kenyataan-kenyataan kebanyakan masyarakat Jawa yang cenderung memisahkan antara kelas ngoko dan kromo.
Elitisme sebagaimana dipahami adalah merupakan sikap dan sistem yang memisahkan antara golongan satu dengan lainnya. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri status sosial-politik yang lebih tinggi dari orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Bagi Bung Karno persoalan ini tampak pada bahasa Jawa yang cenderung mendukung adanya stratifikasi sosial masyarakat.
Praktek stratifikasi sosial elitisme ini tampak ada saat Bung Karno dulu menjadi aktivis di organisasi Jong Java. Pada rapat tahunan organisasi tersebut yang bertempat di Surabaya pada Februari 1921 Bung Karno sempat berpidato dalam bahasa Jawa ngoko, akibat dari bahasa ngoko tersebut ia ditegur oleh ketua panitia rapat tersebut.
Namun dari sebab itulah bukan berarti Bung Karno malah putus asa, justru sebulan kemudian ia kembali membuat ulah dengan berusaha mengusulkan agar Jong Java tidak hanya menerima anggota dengan latar belakang pelajar menengah dan atas, namun ia malah mengusulkan agar siswa-siswi sekolah dasar juga diperbolehkan mendaftarkan diri untuk masuk sebagai anggota, tetapi lagi-lagi usulan tersebut membuat keributan dikalangan Jong Java sendiri.
Melihat strarifikasi tersebut membuat seorang Bung Karno merasa terdapat keresahan tersendiri, karena rakyatnya tidak lagi dihukumi sebagai manusia yang sama dimata sosial–pergerakan masyarakat.
Sistem elitisme ini yang ditentang oleh Bung Karno, karena ia akan menimbulkan penyakit baru bagi bangsa Indonesia. Selain dari gugatan Bung Karno terhadap kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme maka elitisme juga harus diperangi sebagai musuh. Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Sukarno karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktekkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri.
Sebagai pelajar bumi putera, Bung Karno tidak ingin sama pola pendekatannya sebagaimana tokoh pergerakan yang melakukan pendekatan elitis dalam upaya kemerdekaan Indonesia seperti Bung Hatta dan Bung Syahrir yang telah banyak mengenyam pendidikan Eropa di Belanda. Namun Bung Karno justru memilih jalan pendekatan dengan rakyat kecil untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Penolakan sikap elitisme Bung Karno tampak jelas ketika ia mengusung rakyat kecil dalam pusaran perlawan terhadap segala bentuk penindasan dengan menggalang kekuatan rakyat Marhaen menuju revolusi. Dari Marhaen inilah ia mengambil banyak pelajaran dalam upaya perjuangan.
Rakyat Marhaen bagi Bung Karno adalah kekuatan besar untuk kemajuan suatu bangsa. Identitas Marhaen yang tergolong kelas melarat seperti petani, proletar, dan kaum melarat lainnya menunjukkan bahwa Bung Karno tidak mendukung gerakan elitisme. Rakyat Marhaen yang dilihat tergolong ada diposisi bawah, lemah, dan tampak tak punya kekuatan ini oleh Bung Karno dilahirkan bahwa mereka sebenarnya adalah golongan kuat. Mereka juga bisa mengalahkan kekuatan revolusinya sendiri, dan ini terbukti, bahwa dengan rakyat kecil tersebut Indonesia merdeka.
Oleh karena itu, penting kiranya bahwa kita harus lebih mementingkan mayoritas rakyat daripada kelas elitis. Sebagaimana ketidaksepakatan Bung Karno terhadap kelas atas yang bernaung di dalam sistem kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme dengan melahirkan ajaran Marhaenisme yang berazaskan sosio nasionalisme dan sosio demokrasi.
Ajaran Marhaenisme sangat erat hubungannya dengan perjuangan rakyat kecil yaitu kaum Marhaen. Di dalam dua azas Marhaenisme tersebut seperti sosio nasionalisme dan sosio demokrasi sangat berbeda jauh dengan sistem ideologi lain yang telah berkembang di Eropa.
Nasionalisme Bung Karno sangat dekat sekali dengan prinsip kemanusiaan, anti chauvinesm dan peperangan. Sementara demokrasinya sama sekali berbeda seperti kelahiran demokrasi ala Prancis yang telah di usung oleh kaum borjuis dalam upaya perlawanan terhadap masyarakat feodal (raja, penghulu agama, dan kaum ningrat) dengan memperalat rakyat jelata. Marhaenisme Bung Karno muncul dari rakyat dan berjuang bersama rakyat dengan menetang setiap tindak-tanduk segala bentuk kapitalisme dan imperialisme.
Ajaran Marhaenisme Bung Karno tentu sekali sangat anti terhadap segala bentuk kapitalisme. Maka ini adalah pelajaran penting untuk bangsa Indonesia saat ini, terutama sekali bagi kaum elitis pemerintah kita yang cenderung meninggilkan status sosialnya dan tidak mau turun langsung terhadap rakyat yang ada di bawah.
Tidak hanya di dalam Marhaenisme, Pancasila pun sangat menetang sikap elitisme. Pancasila digali atas dasar untuk kepentingan semua golongan rakyat Indonesia. Sehingga pola sistem negara kita tidak lagi fedoal-otokrasi (kekerajaan) namun sitem negara Indonesia menjadi republik dan demokrasi. Ini adalah penting yang perlu kita ketahui.
Maka kaum elitis pemerintah sekarang harus benar-benar mengeti bagaimanakah Indonesia ini. Jangan sampai kaum elitis pemerintah sekarang medukung gerakan elitis.
Kaum elitis saat ini justru malah lebih banyak terlihat meribetkan keinginan rakyat kecil, sebagaiman contok kecil dalam mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), bantuan untuk masyarakat miskin yang tidak tepat sasaran, dan persoalan lainnya lagi, namun bahkan terkadang mereka (kaum elitis) cenderung memperalat rakyat Marhaen atas kepentingan birokrasi mereka.
Oleh karena itu, saya sarankan disini agar setiap pribadi yang telah mapan status kekuasaan, politik, dan ekonominya untuk membaca buku ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ karena disana ada bab yang berjudul ‘Marhaenisme’.
Di bab Marhaenisme tersebut diceritakan bagaimana Bung Karno bertemu dengan seorang petani melarat, yang nantinya menginspirasi presiden pertama Indonesia untuk melahirkan wajah baru rakyat yang dimiskinkan untuk merdeka sebagai suatu bangsa besar.
Elitisme tetap harus kita tolak terutama di waktu Indonesia saat ini, agar tidak lagi kepentingannya hanya berpihak pada golongan atas saja tetapi juga mereka harus turun ke bawah terhadap seluruh rakyat Indonesia agar kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia bisa tercapai.
Penulis: Faidi Ansori