jfID – Pemarjinalan perempuan masih menjadi fenomena sosial. Masih banyak wacana yang menganggap kaum perempuan selalu dilihat sebagai “korban” dalam berbagai fenomena dan proses sosial. Masih terdapat praktik perlakuan terhadap perempuan yang kurang bahkan tidak apresiatif. Fenomena bias gender dalam konteks hubungan antara perempuan dan laki-laki acap kali masih direspons dengan opini negatif yang menyatakan dunia ini adalah dunia laki-laki, yang dibentuk, yang ditata dengan norma, nilai laki-laki. Para perempuan sering dianggap hanya sebagai artis panggung drama yang diarahkan dan diatur dengan sutradara laki-laki, dengan skenario naskah yang dibuat laki-laki, dan pada akhirnya ditampilkan untuk memuaskan selera penonton yang pun laki-laki.
Situasi pemarjinalan perempuan tersebut, lambat laun menyurutkan perempuan ke dalam struktur ekonomi, struktur sosial, dan struktur politik dalam kondisi terjebak dalam perangkap kemiskinan. Kemiskinan dalam konteks ini, tak hanya dalam arti tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah, namun juga kemiskinan dalam arti peran dalam mengekspresikan dan mengaktualkan dirinya.
Situasi dan kondisi tersebutnya tampaknya adalah realitas yang diwariskan oleh sejarah peradaban manusia. Mozaik sejarah peradaban manusia menunjukkan gambaran perlakuan yang buram terhadap keberadaan perempuan. Pada peradaban Yunani, yang konon merupakan salah satu puncak peradaban manusia, misalnya, kaum perempuan hanya dianggap sebagai alat pemenuhan naluri seksual kaum laki-laki. Mereka diberi kebebasan dan dipuja, namun kebebasan dan pemujaan itu bertujuan memenuhi kebutuhan dan selera seksual kaum lelaki. Bukti-bukti kehadiran patung-patung erotis dan telanjang yang sampai sekarang masih dijumpai di Eropa adalah bukti yang tak bisa terbantahkan.
Pun dalam peradaban Romawi, kultur sosial masyarakatnya menstreotipe bahwa perempuan sepenuhnya ada di gengaman kekuasaan ayahnya. Setelah kawin kekuasaan tersebut diwariskan kepada suaminya. Cengkraman kekuasaan tersebut mewujud dalam kewenangan menjual, mengusir, menganiaya bahkan membunuh. Hal itu berlangsung hingga abad ke-5 Masehi. Bahkan segala usaha perempuan dalam mencari dan membuahkan harta benda menjadi hak kepemilikan bagi keluarganya yang laki-laki.
Di peradaban Hindu dan Cina pun setali tiga uang. Bahkan di India dalam tradisi Hindu ortodoks, hak hidup seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Sang istri harus bela pati dengan dibakar hidup-hidup bersama jasad suaminya diperabukan. Di Cina dan Jepang kaum perempuan dipandang sekedar pemuas laki-laki sehingga dirawat, dihias, dipercantik untuk kepentingan pemuasan nafsu laki-laki. Sekedar menjadi tubuh. Tradisi Maiko, Gaiko, dan Geisha menjadi bukti otentik adanya kultur buram tersebut.
Pada kultur Yahudi pun tak kalah suramnya. Martabat perempuan nyaris serupa dengan pembantu. Dianggap sebagai sumber laknat atau ‘pembawa sial’ karena perempuan dianggap sebagai biang keladi terusirnya Adam dari sorga. Pun pandangan elite gereja zaman dulu serupa buramnya. Bahkan sampai tahun 1805 perundangan Inggris melegalkan suami untuk menjual isterinya.
Di Amerika Serikat yang dianggap negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan HAM pun setali tiga uang alias samimawon menoreh sejarah buram kaum perempuan. Ketika Elizabeth Blackwill di 1849 menjadi dokter perempuan pertama dan lulus studinya di Geneva University, ramai-ramai diboikot dengan alasan perempuan dianggap tidak wajar untuk berpendidikan tinggi. Bahkan saat Elizabeth Blackwill bercita mendirikan sekolah kedokteran bagi perempuan di Philadelphia, ikatan dokter memboikotnya.
Di tanah air kita sendiri, di Indonesia, sejarah buram itu masih tercatat abadi dalam tragedi sejarah kolonialisme. Surat-surat R.A Kartini menyuarakan gumam yang sedih atas kekelaman kaum perempuan kala itu. Dalam surat-suratnya itu, kelak dibukukan dengan judul Door Puisternis tot Licht oleh JH. Abendanon salah seorang sahabat Kartini, dan dialihbahasakan dengan manis dan indah oleh Armyn Pane dalam judul Habis Gelap Terbitlah Terang, tampaklah bahwa secara kultural kaum perempuan ditempatkan sebagai the second sex.
Dalam sebuah arsip Belanda yang dikemukakan Peter Carey (2016) dapat diketahui bahwa ada cerminan realitas kolonial Hindia Belanda yang didominasi kaum lelaki. Carey menyebutnya sebagai suatu realitas yang kental sentimen sentimen male chauvinist (Pemuja Kejantanan) yang menonjol di zaman Daendels (1808-1811), yang mencatatnya “perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi”.
Pandangan suram di era kolonial Belanda tersebut, yang disebut-sebut sebagai era pemerintah kolonial yang sesungguhnya (high colonial period) pun tercermin dalam teks-teks sastra kolonial yang banyak mengisahkan perempuan Jawa dari kalangan elite atau priyayi. Louis Couperus (1863-1923) menulis sebuah roman De Stille Kracht (Kekuatan Gaib) dan J.B. Ruzius dalam roman Heilig Indie (Hindia Suci) di tahun 1905 memnggambarkan sosok perempuan Raden Ayu sebagai tipe perempuan elok namun kepalanya kosong, yang tersenyum cantik menawan namun meniadakan dirinya sendiri. Bahkan dengan kurang ajar dikhayalkan dunia Timur sebagai surga hiburan sensual, kesuburan dan gairah birahi seksualitas yang tak pernah surut.
Tentu saja gambaran suram dan sejarah kelam para perempuan senantiasa memunculkan perlawanan tiada akhir semacam budaya tanding yang memunculkan peran perempuan yang strategis. Kartini seperti disinggung di atas melakukan perlawanan simbolik melalui surat-suratnya. Kemudian dilanjutkan secara riil oleh saudara-saudaranya, Kardinah dan Rukmini. Bahkan jauh sebelum itu di awal abad ke-19 (1831-1841) tercatat dua Srikandi yaitu Raden ayu Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang. Sosok Raden Ayu Yudokusumo, sesuai dengan namanya, adalah salah seorang panglima kavaleri Pangeran Diponegoro, yang oleh De Klerck seorang sejarawan Belanda, sebagai perempuan cerdas namun garang dalam peperangan. Sosok ini dicatat pula dalam Babad Jatuhnya Yogyakarta sebagai ‘seorang perempuan yang punya kecerdasan tinggi, bercita-cita besar, berkemampuan tinggi dan piawai dalam strategi’ (kang tyas Raden Ayu lantip mupugi guneng priya). Adapun Nyai Ageng Serang merupakan salah satu panglima perang melawan kolonialisme. Karena keperkasaan dan kepahlawanannya dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.
Perlawanan-perlawanan perempuan terhadap marjinalisasi yang dialaminya pun muncul dalam bentuk-bentuk simbolik dalam berbagai teks sastra. Pramudya Ananta Toer dalam novelnya yang adiluhung, Bumi Manusia, menghadirkan sosok perempuan pribumi Sanikem, yang menjadi simbolisasi perempuan Indonesia yang mengalami ketidakberdayaan menghadapi marjinalisasi dalam bentuk tidak punya hak menentukan hidupnya, yang dipaksa bapaknya menjadi gundik atau Nyai. Namun pada akhirnya Sanikem bisa mengubah pribadinya menjadi Nyai Ontosoroh yang tegar, menguasai ilmu niaga, ilmu akutansi dan memilih berjuang bagi keadilan perempuan pribumi.
Riwayat-riwayat buram nan kelam para perempuan dalam sejarahnya seperti terungkap di atas sudahkah berakhir?
Dalam situasi global sekarang mungkin masih berlangsung meski dalam bentuk kemasan yang berbeda. Ada yang terang benderang semacam acaman perkosaan, tindak kekerasan, tindak kejahatan seksual, ketidakadilan dalam upah kerja, ketidakseimbangan peran dalam politik. Ada pula yang berupa bersifat simbolisme seperti eksploitasi media, eksploitasi iklan dan kekerasan simbolik lainnya. Namun situasi global juga memunculkan suatu perubahan responsif dari masing-masing perempuan sebagai individual yang sadar akan jatidirinya sebagai perempuan yang otonom, merdeka dan setara. Muncul sebuah kesadaran baru bahwa perempuan tidaklah selalu tunduk dan patuh akan kenyataan hidup. Muncul sebuah evolusi kesadaran bisa mewujud tidak lagi individual tapi bisa menjadi pergerakan atau komunitas perempuan yang memperjuangkan kesetaraannya di ranah sosial, budaya, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan dan berbagai ranah kehidupan lainnya.
Intinya, bandul sejarah perempuan telah berayun dari, untuk dan oleh kaum perempuan itu sendiri menuju kesetaraan yang berjejak pada humanistis. Kesetaraan berjejak humanistis yang pada gilirannya akan memperbaiki tatanan sosiokultural bahkan politis yang kondusif dalam menciptakan ruang peran yang setara antara perempuan dan laki-laki. Akhirnya pada kenyataannya, dunia adalah milik bersama kaum lelaki dan perempuan!
Tentang Penulis: Tjahjono Widarmanto. Tinggal di Ngawi. Menulis dalam genre puisi, esai, artikel, kolom dan cerpen. Tulisan-tulisannya pernah di publikasikan di Jawa Pos, Solo Pos, Basis, Horison, Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Duta, Surabaya Post, Pikiran Rakyat, Kurung Buka.com, Cendana News.